Hampir dua dekade lalu, aku mengenal nasyid. Saat itu, aku masih duduk di bangku SMA. Berkat sering berinteraksi dengan anak-anak ROHIS, aku dikenalkan dengan lagu-lagu nasyid. SNADA menjadi grup nasyid yang paling terkenal saat itu. Lagu-lagunya sering diminta putar di radio. Masih teringat, ada segmen khusus nasyid di salah satu radio di Palembang bakda Isya. Sambil belajar, aku menjadi pendengar setia.
Nyatanya, nasyid memang mendapat tempat di industri musik Indonesia. Utamanya, saat bulan puasa. Nasyid diputar di mana-mana. Bukan hanya di radio, tetapi juga di toko. Sekolah-sekolah pun punya grup nasyid dan selalu ada perlombaannya.
Nasyid sendiri berasal dari bahasa Arab, yang berarti senandung. Senandung demikian sudah dikenal sejak zaman Nabi Muhammmad SAW. Yang paling sering dinyanyikan hingga kini adalah senandung tatkala Rasulllah SAW melakukan hijrah dari Mekah ke Madinah. Beliau disambut dengan senandung thola'al badru 'alaina yang berarti telah muncul rembulan di tengah kami.
Di Indonesia, nasyid mengiringi aktivitas pergerakan Islam, terutama para pemuda, pada tahun 1980-an. Pada tahun 1990-an, Raihan (dari Malaysia) dan SNADA memelopori nasyid dalam industri musik. Nasyid menjadi segmen yang digemari para aktivis muda. Konser-konser pun dilakukan. Aku pernah sekali menghadiri konser nasyid SNADA yang diselenggarakan di IAIN Raden Fatah, Palembang (sekarang bernama UIN Raden Fatah).
Beberapa lagu mendapat tempat khusus di hatiku. Satu lagu dari Raihan selalu mengusik jantungku, mengingatkanku bahwa manusia tak perlu bersedih hati. Sebab, betapa banyak nikmat yang sudah diberikan Allah SWT. Tak terhitung bahkan.
Tuhan dosaku menggunung tinggi
Tapi rahmat-Mu melangit luas
Harga selautan syukurku
Hanyalah setitis nikmat-Mu di bumiÂRaihan
Lagu ini berjudul Mengemis Kasih. Aku masih ingat, lagu ini seringkali menjadi lagu wajib dalam setiap perlombaan nasyid. Ketukannya sangat khas. Aku kerap memainkannya dengan rebana milik ibuku yang ikut grup qasidah di masjid. Atau bila tidak, kutabuh saja di meja.
Lagu lain yang sering kudengarkan berjudul Intifada, dibawakan oleh Rabbani. Mungkin, kalau sekarang, lagu-lagu ini bisa dianggap sebagai lagu radikal. Wong, buku Api Tauhid karya Habiburrahman El Shirazy (Kang Abik) saja bisa disita polisi sebagai barang bukti, mana kala suami seorang bloger dijemput paksa beberapa waktu lalu. Ya, lagu ini tentang jihad. Lebih tepatnya, jihad di Palestina, yang selalu menjadi isu persaudaraan Islam dan keberanian para pemuda melawan zionis Israel yang bersenjata lengkap itu dengan batu-batu.
Bangkit segar seirama
Meluruskan rentak safnya
Riuh-rendah basah lidah
Kalam wahyu mewangi di tamanOh... semerbak harum bingkisan annur
Berterbangan tinggi ke Intifada
Oh merentas misi risalah suci
Mewangikan taman yang dicemar
Biasanya, pendengar lagu ini akan sekaligus menyukai lagu Ar Ruhul Jadid:
Arruhul jadid fi jasadil ummah
Hai mujahid luluh lantakkan jiwa pendosaKami petualang mencari kebenaran
Mencari makna serta hakikat manusia
Kami berjuang menegakkan kehormatan
Hidup mulia atau mati sebagai syuhada
Memang ngeri betul kalau lirik-lirik ini dibawa ke konteks kekinian. Kesyahidan dianggap sebagai teror. Para pelaku teror itu menyempitkan makna mati syahid sebagai mati melawan negara yang tidak berlandaskan napas keislaman. Padahal, Indonesia sudah cukup Islam, mengingat apa yang menjadi rukun Islam itu difasilitasi oleh negara. Penyempitan makna ini berefek domino kepada mereka yang tidak cukup berliterasi untuk alergi dengan kata-kata jihad dan syahid yang sebenarnya memiliki makna yang mendalam. Bahkan melawan hawa nafsu, itu termasuk jihad. Begitu pula mencari nafkah yang halal dan toyib buat keluarga.
Dalam perjalanannya, nasyid berkembang. Ramadan menjadi ajang peluncuran lagu-lagu baru berbagai grup nasyid. Di kemudian hari, ada satu lagu yang aku suka sekali. Judulnya Rembulan di Langit Hatiku, dari Seismic. Seismic sangat unik saat itu karena membawakan nasyid dengan gitar akustik, bukan akapela. Lirik-liriknya pun terbilang romantis.
Rembulan di langit hatiku
Menyalalah engkau selalu
Temani kemana meski kupergi
Mencari tempat kita tujuKan ku jaga nyalamu selalu
Pelita perjalananku
Kan ku jaga nyalamu selalu
Rembulan di langit hatikuRembulan di langit hatiku
Teguhlah engkau pandu aku
Ingatkanlahku bila tersalah
Menempuh tempat kita tujuDoakanlahku di shalat malammu
Pelita perjalananku
Doakanlahku di shalat malammu
Rembulan di langit hatiku
Terus terang saja, lagu ini membuatku ingat orang yang kusukai saat itu. Wkwk. Susah betul jatuh cinta pada akhwat-akhwat berjilbab lebar. Hanya bisa mengaguminya dari kejauhan. Kan nggak boleh pacaran.
Hanya saja, di luar keromantisan itu, aku merasa lirik Seismic adalah metafora. Ada lapisan makna di sana. Kata "rembulan" seperti dalam syair thola'al badru 'alaina adalah tentang Muhammad SAW. Beliau juga sering diacu sebagai "kekasih". Lagu ini tidak hanya soal pasangan hidup, tetapi makna terdalam darinya adalah bagaimana seorang muslim memiliki kecintaan yang luar biasa terhadap baginda Rasulullah SAW.
Sayangnya, di situlah industri menunjukkan wajah buruknya. Nasyid bukanlah tentang senandung biasa melainkan asupan ruhiyah dalam tiap liriknya. Ia bukan ajang untuk menampilkan kondisi duniawi. Namun selayaknya ajang, tampang kemudian menjadi komoditas, dan buatku, hal itu merusak esensi.
Setelah itu, perlahan-lahan, nasyid di industri musik mulai tergantikan. Penyebabnya, turun gunungnya para anak band yang membuat lagu relji setiap bulan puasa. Mereka baru sadar bahwa nasyid punya segmen khusus yang laku di pasaran. Para anak band yang biasa bucin atau bahkan urakan sekali pun tiba-tiba membuat lagu-lagu reliji dengan busana-busana islami.
Grup-grup nasyid pun bertumbangan dalam industri yang sedemikian kejam itu.
Sisi baiknya, itu menjadi ruang renung agar nasyid kembali ke khittahnya. Ia menjadi setitik air yang melenyapkan dahaga di padang pasir bagi jiwa-jiwa yang memiliki kekosongan. Dan kekosongan itu, selaiknya diisi dengan Tuhan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI