Mohon tunggu...
Pringadi Abdi Surya
Pringadi Abdi Surya Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan kreatif

Lahir di Palembang. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Instagram @pringadisurya. Catatan pribadi http://catatanpringadi.com Instagramnya @pringadisurya dan Twitter @pringadi_as

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Memorabilia Nasyid di Bulan Ramadan

22 April 2021   07:16 Diperbarui: 22 April 2021   07:22 1439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
SNADA. Sumber: Muslimah Daily.

Hampir dua dekade lalu, aku mengenal nasyid. Saat itu, aku masih duduk di bangku SMA. Berkat sering berinteraksi dengan anak-anak ROHIS, aku dikenalkan dengan lagu-lagu nasyid. SNADA menjadi grup nasyid yang paling terkenal saat itu. Lagu-lagunya sering diminta putar di radio. Masih teringat, ada segmen khusus nasyid di salah satu radio di Palembang bakda Isya. Sambil belajar, aku menjadi pendengar setia.

Nyatanya, nasyid memang mendapat tempat di industri musik Indonesia. Utamanya, saat bulan puasa. Nasyid diputar di mana-mana. Bukan hanya di radio, tetapi juga di toko. Sekolah-sekolah pun punya grup nasyid dan selalu ada perlombaannya.

Nasyid sendiri berasal dari bahasa Arab, yang berarti senandung. Senandung demikian sudah dikenal sejak zaman Nabi Muhammmad SAW. Yang paling sering dinyanyikan hingga kini adalah senandung tatkala Rasulllah SAW melakukan hijrah dari Mekah ke Madinah. Beliau disambut dengan senandung thola'al badru 'alaina yang berarti telah muncul rembulan di tengah kami.

Di Indonesia, nasyid mengiringi aktivitas pergerakan Islam, terutama para pemuda, pada tahun 1980-an. Pada tahun 1990-an, Raihan (dari Malaysia) dan SNADA memelopori nasyid dalam industri musik. Nasyid menjadi segmen yang digemari para aktivis muda. Konser-konser pun dilakukan. Aku pernah sekali menghadiri konser nasyid SNADA yang diselenggarakan di IAIN Raden Fatah, Palembang (sekarang bernama UIN Raden Fatah).

Beberapa lagu mendapat tempat khusus di hatiku. Satu lagu dari Raihan selalu mengusik jantungku, mengingatkanku bahwa manusia tak perlu bersedih hati. Sebab, betapa banyak nikmat yang sudah diberikan Allah SWT. Tak terhitung bahkan.

Tuhan dosaku menggunung tinggi
Tapi rahmat-Mu melangit luas
Harga selautan syukurku
Hanyalah setitis nikmat-Mu di bumi 

Raihan

Lagu ini berjudul Mengemis Kasih. Aku masih ingat, lagu ini seringkali menjadi lagu wajib dalam setiap perlombaan nasyid. Ketukannya sangat khas. Aku kerap memainkannya dengan rebana milik ibuku yang ikut grup qasidah di masjid. Atau bila tidak, kutabuh saja di meja.

Lagu lain yang sering kudengarkan berjudul Intifada, dibawakan oleh Rabbani. Mungkin, kalau sekarang, lagu-lagu ini bisa dianggap sebagai lagu radikal. Wong, buku Api Tauhid karya Habiburrahman El Shirazy (Kang Abik) saja bisa disita polisi sebagai barang bukti, mana kala suami seorang bloger dijemput paksa beberapa waktu lalu. Ya, lagu ini tentang jihad. Lebih tepatnya, jihad di Palestina, yang selalu menjadi isu persaudaraan Islam dan keberanian para pemuda melawan zionis Israel yang bersenjata lengkap itu dengan batu-batu.

Bangkit segar seirama
Meluruskan rentak safnya
Riuh-rendah basah lidah
Kalam wahyu mewangi di taman

Oh... semerbak harum bingkisan annur
Berterbangan tinggi ke Intifada
Oh merentas misi risalah suci
Mewangikan taman yang dicemar

Biasanya, pendengar lagu ini akan sekaligus menyukai lagu Ar Ruhul Jadid:

Arruhul jadid fi jasadil ummah
Hai mujahid luluh lantakkan jiwa pendosa

Kami petualang mencari kebenaran
Mencari makna serta hakikat manusia
Kami berjuang menegakkan kehormatan
Hidup mulia atau mati sebagai syuhada

Memang ngeri betul kalau lirik-lirik ini dibawa ke konteks kekinian. Kesyahidan dianggap sebagai teror. Para pelaku teror itu menyempitkan makna mati syahid sebagai mati melawan negara yang tidak berlandaskan napas keislaman. Padahal, Indonesia sudah cukup Islam, mengingat apa yang menjadi rukun Islam itu difasilitasi oleh negara. Penyempitan makna ini berefek domino kepada mereka yang tidak cukup berliterasi untuk alergi dengan kata-kata jihad dan syahid yang sebenarnya memiliki makna yang mendalam. Bahkan melawan hawa nafsu, itu termasuk jihad. Begitu pula mencari nafkah yang halal dan toyib buat keluarga.

Dalam perjalanannya, nasyid berkembang. Ramadan menjadi ajang peluncuran lagu-lagu baru berbagai grup nasyid. Di kemudian hari, ada satu lagu yang aku suka sekali. Judulnya Rembulan di Langit Hatiku, dari Seismic. Seismic sangat unik saat itu karena membawakan nasyid dengan gitar akustik, bukan akapela. Lirik-liriknya pun terbilang romantis.

Rembulan di langit hatiku
Menyalalah engkau selalu
Temani kemana meski kupergi
Mencari tempat kita tuju

Kan ku jaga nyalamu selalu
Pelita perjalananku
Kan ku jaga nyalamu selalu
Rembulan di langit hatiku

Rembulan di langit hatiku
Teguhlah engkau pandu aku
Ingatkanlahku bila tersalah
Menempuh tempat kita tuju

Doakanlahku di shalat malammu
Pelita perjalananku
Doakanlahku di shalat malammu
Rembulan di langit hatiku

Terus terang saja, lagu ini membuatku ingat orang yang kusukai saat itu. Wkwk. Susah betul jatuh cinta pada akhwat-akhwat berjilbab lebar. Hanya bisa mengaguminya dari kejauhan. Kan nggak boleh pacaran.

Hanya saja, di luar keromantisan itu, aku merasa lirik Seismic adalah metafora. Ada lapisan makna di sana. Kata "rembulan" seperti dalam syair thola'al badru 'alaina adalah tentang Muhammad SAW. Beliau juga sering diacu sebagai "kekasih". Lagu ini tidak hanya soal pasangan hidup, tetapi makna terdalam darinya adalah bagaimana seorang muslim memiliki kecintaan yang luar biasa terhadap baginda Rasulullah SAW.

Grup Nasyid Senandung Hikmah asal Palembang.
Grup Nasyid Senandung Hikmah asal Palembang.
Setelah itu, Nasyid pun mencapai puncak kejayaannya dengan hadirnya Festival Nasyid Indonesia yang disiarkan oleh salah satu televisi swasta Indonesia. Baru kali itu dalam sejarah, nasyid digelar layaknya AFI atau Indonesian Idol. Grup-grup nasyid maju mewakili tiap provinsi. Senandung Hikmah adalah grup nasyid dari Sumatra Selatan waktu itu.

Sayangnya, di situlah industri menunjukkan wajah buruknya. Nasyid bukanlah tentang senandung biasa melainkan asupan ruhiyah dalam tiap liriknya. Ia bukan ajang untuk menampilkan kondisi duniawi. Namun selayaknya ajang, tampang kemudian menjadi komoditas, dan buatku, hal itu merusak esensi.

Setelah itu, perlahan-lahan, nasyid di industri musik mulai tergantikan. Penyebabnya, turun gunungnya para anak band yang membuat lagu relji setiap bulan puasa. Mereka baru sadar bahwa nasyid punya segmen khusus yang laku di pasaran. Para anak band yang biasa bucin atau bahkan urakan sekali pun tiba-tiba membuat lagu-lagu reliji dengan busana-busana islami.

Grup-grup nasyid pun bertumbangan dalam industri yang sedemikian kejam itu.

Sisi baiknya, itu menjadi ruang renung agar nasyid kembali ke khittahnya. Ia menjadi setitik air yang melenyapkan dahaga di padang pasir bagi jiwa-jiwa yang memiliki kekosongan. Dan kekosongan itu, selaiknya diisi dengan Tuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun