Presiden Joko Widodo meminta Kementerian Keuangan mengkaji ulang pembayaran gaji ke-13 dan THR mengingat beban anggaran yang semakin berat di tengah Pandemi. Jika beban belanja pegawai untuk gaji dan tunjangan itu dipotong, penghematan anggaran yang dilakukan akan cukup signifikan.
Namun, apakah tepat jika memangkas semua gaji ke-13 dan THR demi Corona?
Pertama, kita perlu melihat filosofi dan tujuan keduanya.
Gaji ke-13 dibayarkan pertama kali pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri dengan filosofi pembayaran gaji di kebanyakan negara dibayarkan secara mingguan.Â
Jika gaji hanya dibayarkan 12 kali dengan asumsi sebulan sebanyak 4 Minggu, maka gaji ke-13 adalah kompensasi atas Minggu yang tidak dibayar. Sebagaimana kita tahu, dalam setahun ada 52 Minggu, dikurangi dengan 4*12 Minggu, jadi ada pas selisih 4 Minggu (1 bulan).
Sedangkan kehadiran Tunjangan Hari Raya pertama kali hadir di masa Presiden Joko Widodo. Memang dari segi filosofi pembayaran, tidak ada dasar selain THR adalah tunjangan baru yang dikhususkan untuk menyokong kebutuhan di hari raya.
Jika didasarkan pada filosofinya saja, dengan mudah kita katakan, memang sebaiknya THR ditiadakan mengingat pula mudik di masa Pandemi tidak diperbolehkan. Yang harus dibarengi dengan pembatalan cuti bersama lebaran dan dialihkan ke tanggal lain, semisal akhir tahun (semoga saat itu semua sudah berlalu).
Hanya saja, kebijakan diambil tidak sesimpel itu. Baik gaji ke-13 dan THR punya tujuan penting sebagai stimulus fiskal.
Sebagaimana kita ketahui, pertumbuhan ekonomi dari sisi pengeluaran dirumuskan sebagai konsumsi ditambah investasi ditambah pengeluaran pemerintah ditambah net perdagangan.
Net perdagangan sudah tidak bisa diharapkan karena kondisi global pun sudah terdampak pandemi. Begitu pun investasi yang terlihat dari merosotnya Rupiah karena salah satunya investor banyak yang cabut dari RI.Â
Dan penanaman modal tetap bruto alias belanja infrastruktur sudah dianggap tidak prioritas sehingga fungsi I juga tidak usa dianggap dulu. Tinggal tersisa G dan C.Â