Sampai kemudian, September 2014, aku kembali ke Jakarta guna menempuh tugas belajar. Di sela-sela masa kuliah itu, aku mulai rajin menulis di Kompasiana, di kanal fiksi dan ikut lomba, serta sesekali "mengetes ilmu" yang kudapat di bangku kuliah, dengan menganalisis sejumlah permasalahan dalam kebijakan publik.
Perkuliahan selesai. Aku ditempatkan di kantor pusat. Kompasiana tetap jadi media yang menyenangkan.Â
Aku cukup banyak menulis. Hal menyenangkan ketika menulis adalah mendapatkan jumlah pembaca yang lumayan. Puncaknya adalah ketika aku menulis soal Afi Nihaya. Viral. Dapat berbagai ancaman, bahkan ada dari Kompasianer yang berkeinginan menuntutku secara hukum akibat pencemaran nama baik. Dituduh sebagai proxy politik sebelah, inilah itulah.
Aku diam saja. Kesombongan intelektualku ingin berkata, "Andai saja orang-orang itu mau sedikit saja googling, dan melihat rekam jejakku di dunia sastra...."
Ya, hal yang membuatku respek adalah ketika Bang Isjet meneleponku untuk mengklarifikasi. Beliau secara langsung memberikan dukungan kepadaku.
Kupikir itu menjadi titik balikku di Kompasiana. Aku diajak Kompasiana Nangkring untuk kali pertama. Di sana aku bertemu dengan Kak Maria, yang setelah tahu aku orang Palembang, menambahkanku di WAG Kompasianer Palembang.
Soal 23 November
Ketika memutuskan tak berangkat, siangnya aku teringat, 23 November 2018 (tahun lalu) adalah malam anugerah pengumuman pemenang Danone Blogger Academy 2018. Waktu itu, aku mengajak keluarga. Mereka menunggu di hotel yang jaraknya tak sampai 1 km dari lokasi di bilangan Menteng.
Pada malam itu, aku menjadi pemenang. Sempat aku berseloroh, "Jangan-jangan, 23 November adalah tanggal keberuntunganku.... Menang nih kayaknya..."
Istriku hanya tertawa dan berkata, "Emangnya kamu berharap menang?"
"Ya, sebagai manusia, siapa sih yang nggak mau menang? Tapi, ya realistis sajalah."