Mohon tunggu...
Pringadi Abdi Surya
Pringadi Abdi Surya Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan kreatif

Lahir di Palembang. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Instagram @pringadisurya. Catatan pribadi http://catatanpringadi.com Instagramnya @pringadisurya dan Twitter @pringadi_as

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Joker, Pandeglang, dan Identitas Moral

11 Oktober 2019   10:03 Diperbarui: 11 Oktober 2019   12:08 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya bersorak, bertepuk tangan, tatkala Joker menembak Murray pas di kepalanya. Apakah saya tidak bermoral?

Sempat saya tulis di Twitter bahwa karya seni tidak usah diidentikkan dengan moralitas. Lalu apa yang menjadi keutamaan sebuah cerita (dan film)? Jawabannya adalah ironi.

Saya meyakini, cerita yang baik adalah yang memuat ironi dan menyajikannya dengan cara yang luar biasa. Parasite melakukan itu. Joker juga. Ironi merasuk ke setiap penokohannya. Ketika kita terbuai dengan ironi itu, maka moralitas adalah sesuatu yang ambigu.

Saya teringat sebuah lelucon, "Dosa apa yang paling dicinta oleh Tuhan?"

Jawabannya, "Memperkosa anak setan."

Dari sudut pandang moral yang baku, keduanya tidak bisa dibenarkan. Namun, pada kenyataannya banyak orang bersorak dengan kehadiran "Vigilante" macam Robin Hood dan City Hunter yang mencuri dari mereka yang "corrupt" dan bukan "orang baik". Dan kali ini Joker berhasil mencuri perhatian yang sama secara ekstrem, membuat banyak orang menyadari ironi yang hadir di dalam kehidupannya.

Saat Joker masih tayang, di Pandeglang kita menyimak soal penusukan. Lalu tidak sedikit orang yang seperti bersorak, bertepuk tangan, menduga-duga itu semacam konspirasi, dan semacamnya... seperti orang-orang yang mendukung Joker melakukan itu.

Apakah mereka tidak bermoral? Apakah mereka politis?

Bodoh sekali rasanya jika kita menjustifikasi hal semacam itu. Buat saya, mereka hanya melihat ironi. Ya, ironi adalah ironi. Ironi tidaklah politis (dalam kacamata praktis). Seperti yang Joker bilang ke Murray, "I'm no political, Murray!"

Tidak bermoral? Ah, saya jadi teringat satu episode "It's Okay That's Love" yang dibintangi Jo In Sung dan Ging Hyo Jin. Saat In Sung yang memerankan tokoh penulis bertemu Hyo Jin, Sang Psikiater di sebuah Talk Show, ia mengatakan bahwa ciri psikopat ada di dalam diri setiap menusia. Ia bertanya kepada penonton di studio, "Siapa yang pernah memiliki pikiran untuk membunuh orang lain?" Lalu hampir semua penonton mengangkat tangan.

Hyo Jin tidak kalah cerdik. Dia ikut bertanya, "Kalian yang pernah punya pikiran membunuh, apakah memang melakukannya atau ingin membunuhnya betulan?"

Lalu, tidak seorang pun yang mengangkat tangan.

Ada perbedaan besar antara hadirnya "pikiran ingin membunuh" seperti misalnya dalam hal Pandeglang, "Ah, kenapa kok pisaunya kecil sekali." dengan benar-benar merencanakan pembunuhan. Dan itu normal karena Anda semua menyadari sebuah ironi.

Bahkan termasuk, bila suatu hari kita menyadari ada ironi di dalam diri kita sendiri!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun