Mohon tunggu...
Pringadi Abdi Surya
Pringadi Abdi Surya Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan kreatif

Lahir di Palembang. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Instagram @pringadisurya. Catatan pribadi http://catatanpringadi.com Instagramnya @pringadisurya dan Twitter @pringadi_as

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mirip, Apakah Selalu Plagiat?

12 Juli 2019   15:38 Diperbarui: 9 November 2019   17:28 973
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pernah mendengar ungkapan "steal like an artist"? Ungkapan itu menjadi populer kembali lantaran menjadi sebuah judul buku yang ditulis oleh Austin Kleon. Sebelumnya ungkapan yang "mirip" diucapkan oleh Picasso, "Seniman yang buruk meniru. Seniman yang baik mencuri. " Penyair kenamaan, T.S. Elliot juga mengaminkan hal itu dengan mengatakan, "Penyair amatir meniru; penyair dewasa mencuri." 

Tentu, ungkapan itu tidak bisa ditelan mentah-mentah. Ada penafsiran panjang dari kata "pencurian". Mencuri tentu berbeda dengan merampok. Mencuri juga berbeda dengan menjarah. Mencuri berarti kita masuk ke rumah seseorang, lalu mengambil barang berharga yang ada di rumah itu tanpa ketahuan. Dalam berkarya, mencuri berarti kita masuk mendalami karya dan ruang kreasi seseorang, dan mengambil pelajaran berharga dari sana tanpa terendus sama sekali.

Beberapa hari yang lalu, saya mendapat pertanyaan dari seorang teman. Terdapat kasus "dugaan" plagiarisme yang terjadi pada sebuah buku berjudul #88 LOVE LIFE. Buku yang diduga menjiplak buku tersebut berjudul #99 LOVE YOUR MIND.

Menurut Kakak, ini kasus plagiat, bukan?

Aku terpaksa memberi disclaimer sebelum memberi jawaban. Aku tidak membaca kedua buku itu. Aku tidak memiliki keduanya. Jadi, aku hanya mencoba menilai dari foto-foto yang diberikan.

Pertama, bila melihat warna dan gambar sampulnya, jelas bahwa tidak ada unsur kemiripan di sana. Meski bisa kita lihat pada judul ada unsur pengaruh penggunaan angka kembar dan kata cinta. Ya, walaupun siapa saja bisa hobi menggunakan filosofi angka kembar.

Sumber: FB Hermoko W
Sumber: FB Hermoko W

Masuk ke halaman pertama buku ini tersaji ilustrasi demikian. Objeknya berbeda-beda. Di buku pertama ada rok, tas, cupcake. Sedangkan di buku kedua ada baju, kamera, dan es krim.

Hanya saja, di sini kita (siapa pun) akan merasa keduanya membawa kesan yang serupa. Mirip sekali. Bisa dipastikan pembuat buku kedua telah membaca buku pertama. Kecuali bila alam begitu ajaib.

Sumber: FB Hermoko W
Sumber: FB Hermoko W

Halaman ini membuat kita semakin yakin kalau sang kreator meniru konsep buku yang pertama. Hanya saja, bila kita melihat teks, sang penulis kedua membawakan tema dan sudut pandang yang berbeda. Tidak terlihat kata-kata bermakna mirip atau yang dijiplak terang-terangan.

Dalam hal ini saya akan bilang kalau secara teks, penulis tidak melakukan tindak plagiarisme. Lalu bagaimana dengan grafisnya?

Sumber: FB Hermoko W
Sumber: FB Hermoko W

Di sini gambar permen yang digugat. Makin terlihat jelas, secara ide grafis pasti si penulis kedua membaca penulis pertama.

Sumber: FB Hermoko W
Sumber: FB Hermoko W
Sumber: FB Hermoko W
Sumber: FB Hermoko W

Barangkali sang penulis terlalu menghayati prinsip Amati, Tiru, Modifikasi (ATM) yang memang banyak orang lakukan. Buat saya ATM berbeda dengan tindakan plagiarisme. Soalnya, ATM juga membutuhkan proses berpikir untuk memodifikasi seunik mungkin.

Katakanlah, dalam konteks di atas, bagaimana cupcake diubah menjadi icecream. Sang penulis bisa memberikan alasan filosofis kenapa memilih es krim. Hidup tidak semanis dan selembut es krim, katanya. Sedangkan pada penulis pertama, sisi yang dia ambil adalah metafora atas memanjat gunung yang tak pernah mudah. Meski konklusinya kemudian menuju butuh perjuangan untuk hidup.

Dalam karya sastra, juga dikenal yang namanya kitsch, tiruan dari produk sastra. Tentu kitsch tidak agung seperti karya sastra.

Meski saya bilang karya kedua bukan plagiarisme, bukan berarti karya kedua adalah karya yang mulia. Ironisnya karya kedua ini justru mendapatkan penghargaan lay out terbaik pada Islamic Book Awards.

Jika saya panitia pemberi penghargaan, saya akan merasa malu. Saya akan mencabut penghargaan tersebut dan memberikannya ke buku yang pertama sebagai karya yang ditiru. Ya, kreator buku kedua belum mampu mencuri seperti artis. Ia masih seorang amatir yang meniru karya lainnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun