Halaman ini membuat kita semakin yakin kalau sang kreator meniru konsep buku yang pertama. Hanya saja, bila kita melihat teks, sang penulis kedua membawakan tema dan sudut pandang yang berbeda. Tidak terlihat kata-kata bermakna mirip atau yang dijiplak terang-terangan.
Dalam hal ini saya akan bilang kalau secara teks, penulis tidak melakukan tindak plagiarisme. Lalu bagaimana dengan grafisnya?
Di sini gambar permen yang digugat. Makin terlihat jelas, secara ide grafis pasti si penulis kedua membaca penulis pertama.
Barangkali sang penulis terlalu menghayati prinsip Amati, Tiru, Modifikasi (ATM) yang memang banyak orang lakukan. Buat saya ATM berbeda dengan tindakan plagiarisme. Soalnya, ATM juga membutuhkan proses berpikir untuk memodifikasi seunik mungkin.
Katakanlah, dalam konteks di atas, bagaimana cupcake diubah menjadi icecream. Sang penulis bisa memberikan alasan filosofis kenapa memilih es krim. Hidup tidak semanis dan selembut es krim, katanya. Sedangkan pada penulis pertama, sisi yang dia ambil adalah metafora atas memanjat gunung yang tak pernah mudah. Meski konklusinya kemudian menuju butuh perjuangan untuk hidup.
Dalam karya sastra, juga dikenal yang namanya kitsch, tiruan dari produk sastra. Tentu kitsch tidak agung seperti karya sastra.
Meski saya bilang karya kedua bukan plagiarisme, bukan berarti karya kedua adalah karya yang mulia. Ironisnya karya kedua ini justru mendapatkan penghargaan lay out terbaik pada Islamic Book Awards.
Jika saya panitia pemberi penghargaan, saya akan merasa malu. Saya akan mencabut penghargaan tersebut dan memberikannya ke buku yang pertama sebagai karya yang ditiru. Ya, kreator buku kedua belum mampu mencuri seperti artis. Ia masih seorang amatir yang meniru karya lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H