Selama perantauanku, baru kali ini aku menjalani kepulangan, di atas sebuah bus tak ber-AC, diselipi asap rokok yang mengganggu.
Setelah satu hari lebih perjalanan, disambung sebuah angkutan pedesaan, aku sampai di seberang jalan pulang. Aku memang tidak bilang aku akan pulang. Aku pandangi rumahku, benar-benar rumahku, dan memang tidak sama. Sekarang, ada teras berlantai di depan rumah, dan taman-taman yang terawat rapi. Pohon kahya berdiri kokoh di sampingnya. Pohon jambu itu masih ada. Aku yang menanam. Hanya pohon kersen yang sudah ditebang diganti dengan garasi berisi karung-karung (sepertinya pupuk). Kandang ayam itu pun masih ada, tetapi anehnya tak kulihat satu pun ayam berkeliaran di siang hari begini. Padahal, harusnya, ayam-ayam itu telah bertambah banyak.
Aku mengetuk pintu. Tak lama Yu Win membukakannya.
Yu Win memelukku.
Tak lama ibu muncul. Rambutnya sudah banyak beruban.
Aku bersimpuh di kakinya. "Apa kabarmu, Nak?" katanya dengan mata berkaca-kaca.
Dari pembicaraan-pembicaraan selanjutnya, kuketahui ternyata ayam-ayamku itu sudah mati semua. Terkena flu burung. Terlebih memang semenjak kepergianku, tak ada yang mengurusnya. Dian masuk penjara dan buron setelah melakukan pelarian.
"Jadi kamu sekarang benar sudah sarjana?" tanya Ibu tidak percaya.
Aku menganggukkan kepala. "Sarjana Matematika, Bu..."
"Tiga kali tiga masih sama dengan enam?" singgung Yu Win.
"Kalau dikurangi tiga lagi..." jawabku dengan tertawa.