Bilamana aku harus mulai menghitung jumlahnya, aku kerepotan. Selalu ada jumlah ayam yang kurang dan ayah memarahiku. Ia bilang aku pasti salah hitung. Ternyata, ayam kadang tidak tahu jalan pulang. Keesokan siang, aku melihat beberapa ayamku, aku yakin itu ayamku, diberi makan oleh Dian, tetangga sebelahku. Aku adukan itu ke ayah.
Ayah langsung marah dan merebut ayam-ayam itu. Tetapi, keluarga mereka mulai bergosip dan menuduh ayahku yang cukup seram itu sudah mencuri ayam-ayam mereka. Padahal, setelah itu kutemukan bukti (aku melihat dengan mata kepalaku sendiri) bahwa Dian memasang perangkap kurungan ayam di semak-semak samping rumahnya. Lalu, ayam itu ia tangkap dan dikurung selama beberapa hari sampai menyadari rumah barunya sendiri. Aku diam saja karena ayam yang ditangkap ayam Mang Juni. Bukan ayamku.
Perihal buku tulis terang saja tak terlepas dari kepribadianku yang melankolis. Aku laki-laki yang sebenarnya suka mengurung diri di dalam kamar, mendengarkan lagu, dan menulis semacam puisi--ungkapan perasaanku. "Tahu apa anak kecil tentang perasaan?" Pernah sekali ayahku berkata seperti itu manakala ia memergokiku tengah menulis puisi.Â
Dalam ensiklopediaku, taklah aku menuliskan setan atau sekompi tentara dari batalion dekat rumah itu sebagai makhluk terseram di dunia. Tapi, ayahku. Bayangkan saja, hampir setiap sore aku harus dijemput dengan sabetan sapu atau patahan ranting. Untuk yang kedua, bilamana aku masih setia memanjat pohon rambutan punya tetangga dan bertengger di atasnya bagai seekor burung menemu sarang. Belum lagi bila ketahuan ulangan Matematika itu dapat angka merah. Angka sial. Untung-untung dapat enam, aku tak jadi dimarahi.
"Kau mau jadi apa kalau menghitung tiga kali tiga saja tidak bisa?" ayahku mulai meneriakiku dan menyuruhku membuka celana pendek yang kukenakan. Tersisa celana dalam. Dan, mulai ia akan memukuliku (di pantat) dengan gagang sapu.
"Aku mau jadi sastrawan, Yah," jawabku meringis sambil menahan tangis.
"Kau tidak boleh jadi sastrawan. Sastrawan bisa makan apa? Pokoknya kau harus jadi dokter atau insinyur!"
Di kampungku, memang beliaulah insinyur pertama. Sering kudengar cerita (yang dielu-elukannya), setelah tujuh tahun kuliah di sebuah universitas tak ternama, lalu diangkat jadi pegawai negeri tanpa menyogok. Perihal yang terakhir itu yang ditekankan kepadaku. "Sesulit apapun keadaan kita, kejujuran tetap harus kau pegang, Nak!" Toh, aku tak berniat jadi pegawai negeri yang katanya bisa menafkahi keluarga itu. Ya, bilamana beruntung dengan gaji satu juta per bulan bisa memberi makan seorang istri dan lima orang anak. Itulah akibatnya uang jajanku cuma dua ratus rupiah per hari. Berarti, enam ribu rupiah per bulan. Hanya sekitar setengah persen dari gaji ayahku itu.
Ayahku itu sebenarnya orang baik. Tapi, kepada anak-anaknya ia berlaku sangat tegas. Kak Dio belakangan ini sudah mulai melawan. Ia sering pulang tengah malam. Main kartu. Kali pertama dan kedua, ayahku membiarkannya. Malam ketiga, sengaja ia tak membukakan pintu. Kak Dio beralih ke pintu kamarku yang memang berada di samping. Aku juga tak berani bangun. Aku lebih takut ayah marah ketimbang Kak Dio yang marah. Pernah iseng kuintip dan kugerayangi kamar Kak Dio. Ada sekeping CD berbungkus gambar wanita telanjang. Aku belum pernah melihat wanita telanjang kecuali yang lebih kecil dariku sedang mandi di kali. Beda. Dada wanita itu menggelembung. Sementara, dada yang kulihat sedang mandi di kali itu masih rata seperti aku. Ingin kuadukan ke ayah, tapi aku tak tega kalau Kak Dio dimarahi lagi. Biarlah ini jadi rahasiaku saja.
***
Tahun-tahun berlalu dan selepas SMA aku melanjutkan kuliah ke Jawa. Jawa yang tidak lebih baik dari kampung halamanku. Entahlah, tahun-tahun berlalu tetapi Jawa yang kudiami ini tidak maju-maju. Dari awal mula kedatanganku sampai kini, sudah kudapatkan gelar sarjana, masih begitu-begitu saja. Sawah, rumah, hingga ke tiang listrik pun tetap seperti dulu.