Plak!
Tiba-tiba terdengar suara pukulan di dekat pintu gerbong kereta. Seorang pria dengan muka tersulut bara melontarkan kepalan tangan ke lelaki di sebelahnya. Lelaki yang tampak lebih tua dilihat dari rambutnya yang banyak memutih.Â
Sontak saja pemandangan itu meriuhkan gerbong. Banyak orang bersorak dan berteriak, "Sudah, sudah! Kayak nggak pernah naik kereta."Â
Ada juga yang bilang, "Malu oi, puasa ini. Malu bertengkar sama orang tua!"Â
Lelaki itu tak mau kalah dan masih berusaha memukul pria tua sambil berteriak, "Gue nggak peduli. Dia dulu yang salah tadi karena menyikut gue!"Â
Akhirnya, sang lelaki emosi itu dipaksa turun di stasiun terdekat oleh penumpang yang lain.Â
Begitulah keadaan yang kadang kutemui saat berangkat atau pulang kerja di KRL. Rute Bogor ke Jakarta pasti dipadati penumpang dan bila tak pandai-pandai menahan emosi, tiap hari ya bisa makan hati.Â
Ujian menahan emosi di gerbong kereta itu bisa bermacam-macam sebabnya. Mau tahu apa saja?Â
Pertama, jadwal kereta yang tidak sesuai. Normalnya, aku akan naik kereta pada pukul 6.19 di Citayam. Nah, kadang-kadang jadwal kereta ngaco. Pukul segitu yang datang kereta menuju Angke. Ketidaksesuaian itu biasanya ujian untuk tak memisuh.Â
Kedua, gangguan listrik atas dan sinyal masuk stasiun. Gangguan listrik atas seringkali terjadi menyebabkan keterlambatan perjalanan kereta. Pun istilah teknis menunggu sinyal masuk stasiun yang biasa mendera di Pasar Minggu dan Manggarai membuat waktu terbuang sia-sia. Rasanya ingin meneriakkan kata jancuk kalau terjadi.Â
Ketiga, perilaku penumpang lain. Sudah tahu padat, ada saja penumpang yang cari keuntungan. Sederhananya mereka menyender ke penumpang lain, tidak pegangan, main ponsel pula. Ini adalah jenis penumpang yang sama sekali tidak punya empati. Rasanya pengen marah sekali.Â