Ketimbang menyebut cebong dan kampret, aku lebih suka menggunakan istilah berudu dan lelawa. Dua kubu yang saling menyerang, enggan berdamai, garis keras dalam membela masing-masing junjungannya.Â
Bila berudu dikenal taqlid buta, membebek dan merasa segala sesuatu yang diperbuat junjungannya adalah kebaikan. Orang baik bersama orang baik katanya. Tak mungkin salah dan keliru. Sedangkan lelawa, menganggap politik adalah perjuangan akidah. Istilah semacam kafir tak segan disematkan kepada lawan. Lelawa versi lain adalah asal bukan berudu. Tidak suka pada junjungan berudu dan menghalalkan segala cara untuk menyudutkan lawan.
Pemilu sudah berlalu. 22 Mei nanti keputusan resmi dari KPU, bertepatan dengan 17 Ramadan.
Aku pikir ya sudahlah, terima menang dan kalah dengan lapang dada. Yang menang jangan merasa paling benar sendiri. Yang kalah jangan merasa paling dicurangi.
Sebagai golongan putih, saya selalu meyakini dalam politik tak ada baik dan buruk. Yang ada cuma kepentingan.
Game of Throne mengajari kita semua. Gadis manis seperti Daenarys Targaryen, yang punya visi mulia, membebaskan budak dan mencita-citakan kesetaraan, bisa berubah menjadi Mad Queen yang membakar habis Kings Landing.
Meski di sisi lain ada harapan seperti Jamie Lannister, yang mulanya dikenal sebagai King Slayer, berubah ketika bersumpah kepada Ibunda Stark, bertarung sendirian melawan White Walker tanpa pasukan dari Cersei.
Menahan Diri untuk Tidak Nyinyir Ternyata Sulit
Puasa kerap hanya dimaknai sebagai menahan haus dan lapar. Tidak makan dan minum dari imsak hingga magrib. Namun, sebenarnya banyak yang harus ditahan dari hawa nafsu. Salah satunya nyinyir atau julid.
Segala hal terkait politik dijulidi. Ada saja bahan untuk diolok-olok.
Berudu mengolok-olok klaim-klaim lelawa soal menang. Dari 62 ke 54. Dan seputar kekalahan lelawa. Sedangkan lelawa menyinyiri soal situng yang bermasalah, bahkan yang terbaru bawa-bawa fitnah tentang Mahfud MD.