Seringkali saya bilang, setiap mengampu kelas menulis puisi, jika ingin belajar menulis puisi secara serius, setidaknya bacalah baik-baik karya 3 penyair: Amir Hamzah, Chairil Anwar, dan Goenawan Muhammad.
Sederhananya, ketiga penyair tersebut memiliki gagasan yang begitu kuat. Amir Hamzah boleh dibilang sebagai penggagas puisi liris. Membaca Amir Hamzah bisa membuat kita peka bunyi, bunyi yang alami. Chairil Anwar membawa semangat modernisme di dalam puisi-puisinya. Ia menjadi aku yang mewakili individualisme zaman modern sambil melepaskan diri dari keagungan puisi yang tertanam di benak selama ini. Sedangkan Goenawan Muhammad, ia adalah gembongnya intertekstual.Â
Maksudku, puisi-puisinya membawa kita bertualang dengan pemaknaan yang begitu kaya. Cara menulisnya begitu khas dengan pemenggalan-pemenggalan tertentu yang membuat efek bunyi lebih dapat kita rasakan. Barangkali sederhananya begitu.
Ketiganya menyiratkan satu hal: kematangan sang penyair. Matang karena puisi sudah dimasak dalam derajat tertentu, dengan resep tertentu, dan barang tentu pula, entah sudah berapa kali mereka melakukan percobaan, membuangnya, mengulanginya lagi, sampai menemukan satu cara mematangkan puisi yang aduhai.
Semangat seperti itulah yang bisa kurasakan pada diri Arco Transept saat membaca buku puisi terbarunya Didera Deru Kedai Kuala. Buku puisi ini merupakan buku puisi kedua, setelah Protokol Hujan.
Tatkala buku ini sampai di tanganku, membuka halamannya secara acak, kubilang pada Arco yang ada di sampingku, "Kamu membaca GM ya?"
Dia dengan jujur menjawab, "Semua buku puisi GM kubaca."
Jejak GM yang paling terasa dalam diri Arco adalah caranya memenggal puisi (enjambemen). Sebagai yang juga koleksi buku-buku puisi GM, dengan segera aku bisa mengenalinya.
Mari simak bait pertama puisi berjudul Sebotol Anggur di Kuburan:
Sebotol anggur mencipta
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!