Di kampungku, memang beliaulah insinyur pertama. Sering kudengar cerita (yang dielu-elukannya), setelah tujuh tahun kuliah di sebuah universitas tak ternama, lalu diangkat jadi pegawai negeri tanpa menyogok. Perihal yang terakhir itu yang ditekankan kepadaku. "Sesulit apapun keadaan kita, kejujuran tetap harus kau pegang, Nak!" Toh, aku tak berniat jadi pegawai negeri yang katanya bisa menafkahi keluarga itu.
Ya, bilamana beruntung dengan gaji satu juta per bulan bisa memberi makan seorang istri dan lima orang anak. Itulah akibatnya uang jajanku cuma dua ratus rupiah per hari. Berarti, enam ribu rupiah per bulan. Hanya sekitar setengah persen dari gaji ayahku itu.
Ayahku itu sebenarnya orang baik. Tapi, kepada anak-anaknya ia berlaku sangat tegas. Kak Dio belakangan ini sudah mulai melawan. Ia sering pulang tengah malam. Main kartu. Kali pertama dan kedua, ayahku membiarkannya. Malam ketiga, sengaja ia tak membukakan pintu. Kak Dio beralih ke pintu kamarku yang memang berada di samping. Aku juga tak berani bangun. Aku lebih takut ayah marah ketimbang Kak Dio yang marah.
Pernah iseng kuintip dan kugerayangi kamar Kak Dio. Ada sekeping CD berbungkus gambar wanita telanjang. Aku belum pernah melihat wanita telanjang kecuali yang lebih kecil dariku sedang mandi di kali. Beda. Dada wanita itu menggelembung. Sementara, dada yang kulihat sedang mandi di kali itu masih rata seperti aku. Ingin kuadukan ke ayah, tapi aku tak tega kalau Kak Dio dimarahi lagi. Biarlah ini jadi rahasiaku saja.
***
Tahun-tahun berlalu dan selepas SMA aku melanjutkan kuliah ke Jawa. Jawa yang tidak lebih baik dari kampung halamanku. Entahlah, tahun-tahun berlalu tetapi Jawa yang kudiami ini tidak maju-maju. Dari awal mula kedatanganku sampai kini, sudah kudapatkan gelar sarjana, masih begitu-begitu saja. Sawah, rumah, hingga ke tiang listrik pun tetap seperti dulu.
Selama perantauanku, baru kali ini aku menjalani kepulangan, di atas sebuah bus tak ber-AC, diselipi asap rokok yang mengganggu.
Setelah satu hari lebih perjalanan, disambung sebuah angkutan pedesaan, aku sampai di seberang jalan pulang. Aku memang tidak bilang aku akan pulang. Aku pandangi rumahku, benar-benar rumahku, dan memang tidak sama. Sekarang, ada teras berlantai di depan rumah, dan taman-taman yang terawat rapi.
Pohon kahya berdiri kokoh di sampingnya. Pohon jambu itu masih ada. Aku yang menanam. Hanya pohon ceri yang sudah ditebang diganti dengan garasi berisi karung-karung (sepertinya pupuk). Kandang ayam itu pun masih ada, tetapi anehnya tak kulihat satu pun ayam berkeliaran di siang hari begini. Padahal, harusnya, ayam-ayam itu telah bertambah banyak.
Aku mengetuk pintu. Tak lama Yu Win membukakannya.
Yu Win memelukku.