Mohon tunggu...
Pringadi Abdi Surya
Pringadi Abdi Surya Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan kreatif

Lahir di Palembang. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Instagram @pringadisurya. Catatan pribadi http://catatanpringadi.com Instagramnya @pringadisurya dan Twitter @pringadi_as

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Otak Ayam

2 November 2018   19:37 Diperbarui: 3 November 2018   21:20 1155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku diam saja. Tidak berani membantah. Dalam batinku kukatakan, "Kalau dua kali dua sama dengan empat. Dua tambah dua sama dengan empat. Kenapa tiga kali tiga yang sama dengan sembilan tidak sama dengan tiga tambah tiga?"

Karena itulah aku cuma suka buku tulis dan ayam-ayam peliharanku. Bila sore, mereka memang enggan sekali kembali ke kandang dan lebih memilih bertengger di pohon jambu. Daun-daun pohon jambu itu pun tidak hijau lagi seutuhnya, tetapi bercoreng hitam bekas kotoran ayam. Tiap sore pula aku memanjat ke atas sana dan menangkapi mereka satu per satu kemudian memasukkannya ke kandang.

Bilamana aku harus mulai menghitung jumlahnya, aku kerepotan. Selalu ada jumlah ayam yang kurang dan ayah memarahiku. Ia bilang aku pasti salah hitung. Ternyata, ayam kadang tidak tahu jalan pulang. Keesokan siang, aku melihat beberapa ayamku, aku yakin itu ayamku, diberi makan oleh Dian, tetangga sebelahku. Aku adukan itu ke ayah. Ayah langsung marah dan merebut ayam-ayam itu.

Tetapi, keluarga mereka mulai bergosip dan menuduh ayahku yang cukup seram itu sudah mencuri ayam-ayam mereka. Padahal, setelah itu kutemukan bukti (aku melihat dengan mata kepalaku sendiri) bahwa Dian memasang perangkap kurungan ayam di semak-semak samping rumahnya. 

Lalu, ayam itu ia tangkap dan dikurung selama beberapa hari sampai menyadari rumah barunya sendiri. Aku diam saja karena ayam yang ditangkap ayam Mang Juni. Bukan ayamku.

Perihal buku tulis terang saja tak terlepas dari kepribadianku yang melankolis. Aku laki-laki yang sebenarnya suka mengurung diri di dalam kamar, mendengarkan lagu, dan menulis semacam puisi--ungkapan perasaanku. "Tahu apa anak kecil tentang perasaan?" Pernah sekali ayahku berkata seperti itu manakala ia memergokiku tengah menulis puisi.

Dalam ensiklopediaku, taklah aku menuliskan setan atau sekompi tentara dari batalion dekat rumah itu sebagai makhluk terseram di dunia. Tapi, ayahku. Bayangkan saja, hampir setiap sore aku harus dijemput dengan sabetan sapu atau patahan ranting.

Untuk yang kedua, bilamana aku masih setia memanjat pohon rambutan punya tetangga dan bertengger di atasnya bagai seekor burung menemu sarang. Belum lagi bila ketahuan ulangan Matematika itu dapat angka merah. Angka sial. Untung-untung dapat enam, aku tak jadi dimarahi.

"Kau mau jadi apa kalau menghitung tiga kali tiga saja tidak bisa?" ayahku mulai meneriakiku dan menyuruhku membuka celana pendek yang kukenakan. Tersisa celana dalam. Dan, mulai ia akan memukuliku (di pantat) dengan gagang sapu.

"Aku mau jadi sastrawan, Yah," jawabku meringis sambil menahan tangis.

"Kau tidak boleh jadi sastrawan. Sastrawan bisa makan apa? Pokoknya kau harus jadi dokter atau insinyur!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun