Mohon tunggu...
Pringadi Abdi Surya
Pringadi Abdi Surya Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan kreatif

Lahir di Palembang. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Instagram @pringadisurya. Catatan pribadi http://catatanpringadi.com Instagramnya @pringadisurya dan Twitter @pringadi_as

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

BPJS Bersengkarut, Berefek pada Layanan Pasien?

10 Oktober 2018   10:52 Diperbarui: 10 Oktober 2018   18:43 3548
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: pasien BPJS isitpaleo.info/jkn-mail/

Tulisan ini tidak akan membahas isu teknis atau sistem yang ada di BPJS, melainkan pengalaman pribadi menggunakan BPJS.

Pada dasarnya, pelayanan BPJS untuk fasilitas kesehatan (faskes) tingkat I sudah memuaskan. Kita bisa datang ke klinik terdekat, bahkan bisa memilih sendiri klinik/puskesmas mana yang akan menjadi tempat pelayanan kita. Bila datang ke kantor BPJS pun, layanan sudah teratur. Hanya perlu datang lebih pagi agar mendapat nomor antrean.

Saya mengapresiasi betul dari sisi BPJS. Apalagi adanya aplikasi berbasis android, MOBILE JKN, dengan mudah kita bisa mengganti faskes, seperti saya yang saat itu berpindah domisili dari Sumbawa ke Bandung, Bandung ke Depok, dan dari Depok ke Bogor. Saya hanya perlu mengubahnya lewat aplikasi asal kita sudah melewati masa minimal 3 bulan di tempat asal.

Namun, tidak semua pihak faskes ramah terhadap pasien BPJS. Baik dari sisi hospitality maupun administrasi.

Beberapa waktu lalu, saya sakit gigi. Bengkak. Saya datang ke faskes tingkat I, dirujuk ke faskes tingkat II. Saya pun dipersilakan mau memilih rumah sakit apa yang dijadikan tempat rujukan. Saya pun memilih sebuah rumah sakit yang cukup bagus di bilangan Depok. 

Saya sengaja berangkat pagi, biar mendapat nomor antrean depan. Saya datang dengan perasaan bahagia sambil membayangkan masalah gigi saya akan selesai. 

Begitu sampai rumah sakit, saya turun ke administrasi khusus BPJS di lantai terbawah. Lalu untuk mendaftar, saya dipersilakan ke mesin antrean.

Dokumentasi pribadi.
Dokumentasi pribadi.
Tadinya, saya berpikir positif dengan keberadaan mesin antrean ini. Bayangkan, kita tahu berapa kuota pasien yang dilayani dokter selama jam praktik dalam sehari. Dengan begitu, tidak akan ada pasien yang sudah antre melebihi jam praktik. 

Namun, saya begitu terkejut manakala melihat kuota yang tersedia. Untuk poli gigi, dalam satu hari, rumah sakit hanya melayani 2 pasien BPJS. HANYA 2! Padahal, ketika saya lihat di web, dokter gigi yang praktik ada 5 dokter. 

Saya kembali ke petugas administrasi dengan perasaan kecewa. Bertanya, kenapa kok kuotanya cuma 2? Apa ini kebijakan BPJS atau kebijakan rumah sakitnya yang membatasi pelayanan terhadap pasien BPJS? Tentu saja, ini bukan kebijakan BPJS.

Dengan ketus ia malah menjawab, kalau mau dapat antrean, saya harus datang dini hari. Kalau mau protes, silakan protes ke manajemen.

Akhirnya, aku pulang dengan tangan hampa.

Saya tidak tahu apakah pembatasan-pembatasan seperti itu terjadi juga di rumah sakit lainnya. Ketika di Bandung, hal semacam itu tak saya temui. Hanya saja antrean BPJS begitu panjang. Saya datang pukul setengah 8, dokter datang sekitar pukul 12, obat selesai pukul 4 sore. Seharian. 

Ketika istri melahirkan, sempat juga kujumpai sedikit masalah. Setelah merencanakan kelahiran normal, tiba-tiba pada dini hari, ia mendadak mual. Kami bawa ke klinik tempat biasa kontrol.

Setelah diberikan perawatan darurat agar kembali stabil, paginya dokter bilang, tetap pada kelahiran normal berisiko tinggi. Mau tidak mau harus dilakukan SC yang harus dilakukan di rumah sakit. Nah, rumah sakit yang dituju adalah tempat sang dokter praktik yang bukan merupakan domain faskes kami. Sang dokter bilang itu nggak masalah. 

Setelah naik ambulans, kami dilarikan ke UGD. Sambil menunggu, saya mengurus soal administrasi. Anehnya, sang petugas administrasi mengatakan biaya persalinan tidak bisa ditanggung BPJS.

Terang saya meradang, menahan emosi (karena panik juga tiba-tiba harus ada persalinan), saya bilang, "Mbak bisa mempertanggungjawabkan ucapan, Mbak?"

Saya minta Mbak mengucapkannya sekali lagi, tapi saya rekam. Sebab setahu saya, persalinan SC dengan kasus khusus adalah kondisi darurat yang bisa dilakukan di rumah sakit mana saja di Indonesia, ditanggung BPJS! Jika demikian, saya akan tulis pertanyaan Mbak di media."

Setelah itu, sang petugas meminta saya menunggu. Dia mau menelepon supervisornya. Hampir satu jam kemudian saya baru dipanggil dan dipastikan memang ditanggung BPJS.

Saya berpikir ada gap yang terjadi antara BPJS dan pihak faskes (baik dari segi manajemen maupun sumber daya manusia di faskes tersebut). Saya tidak tahu apakah ada hubungannya antara sengkarut di BPJS yang mengemuka belakangan dengan layanan di faskes.

Ketika saya menulis status soal ini, seorang teman berkomentar, "Ya, bagaimana rumah sakit tidak pilih kasih, kalau tagihan rumah sakit ke BPJS lama cairnya?" Saya tidak mau berpikir seperti itu. Entah bagaimana kalian....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun