Mohon tunggu...
Pringadi Abdi Surya
Pringadi Abdi Surya Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan kreatif

Lahir di Palembang. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Instagram @pringadisurya. Catatan pribadi http://catatanpringadi.com Instagramnya @pringadisurya dan Twitter @pringadi_as

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Inspirasi dari Bapak

4 Juli 2018   17:45 Diperbarui: 4 Juli 2018   17:41 736
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang akan ditanyakan orang tuamu pertama kali ketika meneleponmu?

Bapakku tidak bertanya kabar. Ia akan bertanya aku sudah shalat atau belum. Aku ngaji atau nggak. Dan kalau aku sudah shalat, beliau akan menegaskan shalat yang baik adalah shalat berjamaah di masjid. Soal kabar, itu nomor dua.

Di usianya yang menginjak 63 tahun, ia kerap mengunjungiku karena aku anak satu-satunya yang merantau. Anak bungsu pula. Dia tahu begitu bandel dan soliter. Tidak bosan-bosannya dia mengingatkanku untuk datang ke masjid, karena di masjidlah tempat kita bisa bersosialisasi dan bersaudara sesama muslim. Di mana pun---ketika aku di Sumbawa Besar, di Bandung, di Depok, maupun di Bogor, beliau akan datang dan mencari masjid.

Tempat yang pertama kali ia cari adalah masjid. "Di mana masjid yang bagus?" Masjid yang bagus menurutnya bukanlah masjid yang jamaahnya setelah shalat langsung bubar. Ia menyukai masjid yang banyak zikirnya, yang ada interaksi antar jamaahnya.

Aku pernah mendengar seorang teman berkata, kalau hidup kita sekarang baik-baik saja, padahal kita sebegitu brengseknya, jangan pernah bangga apalagi membanggakan diri. Barangkali kesuksesan kita, baik-baik sajanya kita, adalah berkat doa kedua orang tua kita. Aku merasa kedua  temanku itu benar. Kedua orangtuaku memang orang yang baik sekali. Sejak kecil, aku yakin sekali, doa mereka tak putus kepada anaknya.

Jika ditanya, siapa sosok paling inspiratif di tengah keterbatasan yang dialami, aku akan menjawab Bapak. Bapak menjadi contoh ideal bagaimana cara berjuang hidup bukan untuk diri sendiri, melainkan untuk masyarakat.

Bersama Buyi Husni Tahmrin. Pimpinan Ponpes Qadratullah.
Bersama Buyi Husni Tahmrin. Pimpinan Ponpes Qadratullah.
Supartijo namanya. Beliau anak ke-7 dari 16 bersaudara. Di tengah keterbatasan ekonomi, dengan banyaknya anggota keluarga, pada umur 4 tahun, beliau dibawa oleh kerabat untuk merantau/bertransmigrasi ke Sumatra Selatan dari Tambak, Jawa Tengah. Orangtua angkatnya berprofesi sebagai buruh tani.

Kehidupan yang keras beliau jalani bersama delapan anak angkat yang lain. Ia kerap bercerita bagaimana sejak kecil ia sudah turut bekerja mengangon sapi, ngarit rumput untuk makanan ternak yang digunakan untuk membiayai sekolah. Beliau percaya salah satu cara mengubah nasib adalah dengan menempuh pendidikan setinggi mungkin.

Lulus Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA), darah petani yang mengalir di nadinya membuatnya semakin terjun di dunia pertanian dan perkebunan. Keliling Sumsel untuk menghidupi keluarganya, ia masih punya hasrat yang tinggi pada pendidikan. Pada akhirnya, ia bisa berkuliah dan meraih gelar sarjana saat sudah berusia 38 tahun.

Titik Balik

Ketika krisis moneter terjadi pada tahun 1997, ia justru mendapat berkah tak terduga. Nilai tukar yang melemah membuat modalnya naik 7 kali lipat dan ia memiliki kapasitas yang lebih besar untuk berusaha. Ia pun memiliki divisi usaha perkebunan karet dari hulu ke hilir, mulai dari menjual biji karet (kelatak), mata tidur, bibit karet poly bag, hingga ke getah karet.

Dari karet, kemudian dia merambah perkebunan kelapa sawit. Dan setelah itu, kemampuan dan pengetahuannya yang di atas rata-rata membuat beliau dipercaya untuk membuat kebun dan mengelola kebun-kebun milik orang lain. Ia mengumpulkan mereka dalam satu manajemen kelompok tani.

Kacang tidak boleh lupa kulit. Baginya, wirausaha hanyalah efek samping karena kecintaannya pada bidang perkebunan. Beliau juga memiliki hasrat yang tinggi pada pendidikan. Beliau mengingat masa hidupnya ketika tinggal di Pematang Panggang (daerah di Lintas Timur antara Palembang dengan Lampung). Pada saat itu, beliau sering dianggap gila oleh masyarakat setempat karena nderes atau mengambil getah dari pohon karet.

Kegigihannya dalam menyosialisasikan nilai ekonomi karet pada akhirnya membuat hampir semua penduduk di sana, kini, bergantung pada karet. Di daerah itulah ia mengenang masa sulit hidupnya dan kemudian membangun sebuah sekolah, pondok pesantren yang operasionalnya disubsidi dari hasil kebunnya yang ada di sana.

Ponpes Nurul Qolam. Di Dabukrejo, Lintas Timur, Sumsel.
Ponpes Nurul Qolam. Di Dabukrejo, Lintas Timur, Sumsel.
Selain ponpes di Dabuk Rejo, Pematang Panggang, tiga tahun lalu ia mendirikan sekolah dari TK, SD, SMA dan SMK di Banyuasin. Niatnya suatu saat ia bisa membangun perguruan tinggi di Banyuasin mengingat di Kabupaten ini baru ada satu sekolah tinggi. Itu pun sampai hanya sampai DII.

LPT Nurul Ilmi, Banyuasin.
LPT Nurul Ilmi, Banyuasin.
Kedua sekolah tersebut dibangun bukan dengan dana yang melimpah. Pas-pasan, atau malah kurang sebenarnya. Tapi beliau percaya, selalu ada jalan untuk membangun umat. Pelan-pelan ia bangun satu demi satu fasilitas sekolah dengan hasil kebun, meyakinkan kelompok tani untuk turut membangun, hingga akhirnya terbangun sekolah yang cukup baik.

Dedikasinya di bidang pendidikan itu membuatnya pernah diliput Metro TV sebagai Pahlawan di Bidang Pendidikan para Hari Pahlawan 2016 lalu. Sebuah keunikan tersendiri, seseorang tanpa latar belakang pendidik, memiliki gairah yang besar di bidang pendidikan dengan meyakinkan kelompok tani untuk menyisihkan sebagian keuntungannya sebagai dana awal membangun sekolah.

Kesan Lain

Banyak hal lain yang berkesan. Selain bergelut di bidang perkebunan, beliau juga kerap diundang sebagai penceramah. Pernah suatu saat, ketika masih kecil, aku diajak ke daerah Belitang (sekitar 6 jam dari Kota Palembang). Ia diundang sebagai penceramah pada acara Tahun Baru Islam. Lepas Subuh kami berangkat, juga bersama ibuku.

Aku bertanya padanya, "Kenapa mau ceramah jauh-jauh sih?". Ia hanya tersenyum, "Kalau semua orang berpikir sepertimu, lantas siapa yang akan memikirkan mereka? Dan ingati, ini bukan karena uang. Tapi karena Allah. Bapak yakin Allah akan senantiasa membantu orang-orang yang menegakkan agama-Nya. Bapak hanya mengharap ridho-Nya. Itu saja lebih dari cukup."

Aku termenung mendengarkan kata-kata itu. Memang benar, jika harus dihitung dengan materi, maka ini semua tak ada artinya. Aku juga ingat kata-kata Bapak: Jangan mencari nafkah di jalan dakwah, Kitalah yang harus menghidupi dakwah ini. Kalimat itu membuatku tersenyum. Meski fakta di luar sana ironis, ada oknum-oknum yang menjadikan dakwah sebagai lahan pendapatan.

Dalam berbisnis, pernah pula Bapak kena tipu orang. Aku masih ingat kerugian yang harus ditanggung itu cukup besar. Tapi anehnya, itu tak membuatnya panik. Ia tetap tersenyum seperti biasanya.

Mencoba ikhlas sembari berkata, "Ini cobaan dari Allah. Dan setiap cobaan itu membuat kita jadi lebih kuat, jadi mengintrospeksi diri kita untuk bisa memperbaikinya. Atau mungkin juga ada dosa-dosa yang Bapak perbuat di luar kendali Bapak. Sehingga tanpa sengaja Bapak mendhalimi pihak tertentu. Seperti halnya sakit, ia hadir sebagai penggugur dosa manusia. Semoga saja cobaan itu menggugurkan dosa-dosa Bapak." Aku terpana. Bersyukur memiliki Bapak sebijak ini.

Pernah satu saat hatiku dibuat bergetar olehnya. Adalah prinsip usahanya yang membuatku terpana. Waktu itu menjelang PON 2004 di Palembang. Ia mendapat tugas untuk mencari pekerja pembangunan struktur sektor hijau di kawasan stadion.

Aku iseng bertanya, "Emang gede ya keuntungan menawarkan jasa kaya gini?" Lagi-lagi ia tersenyum, "Bukan masalah gede atau kecil, Di, tapi Bapakmu ini bahagia kalau bisa menciptakan kesempatan kerja kepada orang lain. Dalam apapun lah, kalau keberadaan kita bisa bermanfaat bagi orang lain, maka hati akan merasa sangat tenang."

Satu yang paling bisa membuatku sampai menggeleng-gelengkan kepalaku adalah hasratnya untuk belajar tak pernah berhenti. Di sela kesibukannya yang padat, ia pasti masih sempat membaca buku.

Kemana pun ia mendapat tugas kerja, ke luar kota misalnya, pastilah minimal ada dua buku yang ia bawa. Sebagai bahan bacaan di waktu senggang. Ia juga selalu mendukung penuh diriku dalam pendidikan.

"Bapak ini cuma sarjana. Bapak ingin kamu, sebagai anak Bapak yang terakhir, bisa mampu melebihi Bapak. Sampai jenjang mana pun, insyaAllah Bapak akan terus mendukungmu." Kata-kata ini membiusku, membuat mata ingin berair mata. Meski kutahan di dalam hati saja.

Sebagai anak yang tidak begitu baik, rasanya aku ingin menghadiahkan sesuatu buat beliau. Dari segi materi, kini sebenarnya beliau lebih mampu dariku. Namun, tak ada salahnya bukan, sebagai anak, kita memberi hadiah. Umrah dari Allianz misalnya.

Saya ingin memberi hadiah Umrah karena teringat sebuah hadits, ikutkanlah umrah kepada haji, karena keduanya menghilangkan kemiskinan dan sosa-dosa sebagaimana pembakaran menghilangkan karat pada besi, emas, dan perak. Bahkan dosa di antara dua umroh akan dihapuskan oleh Allah.

Dengan umrah, saya berharap di usianya, beliau terlepas dari dosa yang mungkin tak beliau sengaja, karena saya yakin beliau begitu baik sehingga tak mungkin sengaja menyakiti orang lain/berbuat dosa. Kado untuk hati yang tulus atas dedikasinya pada bidang pendidikan, pengajaran agama Islam, toleransi antarumat beragama, perhatian kepada kaum dhuafa, dan fokusnya pada umat, di tengah statusnya yang bukan siapa-siapa membuat beliau lebih dari pantas mendapatkan hadiah tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun