Kepada Razan al Najjar
Sebuah Peluru pada Sabtu Itu
Ia sedang berpuasa dan tak pernah
memikirkan malam minggu akan berbuka di mana
Ketemu teman sekolah misalnya,
berkumpul, bergosip tentang laki-laki
yang dulu mengirimkan surat cinta
Lalu saat azan dikumandangkan, pesanan
menu berdatangan
Tapi, tak pernah ada yang tahu
Diam-diam hari itu ada yang memesankan peluru
untuknya
Tanpa nama, dengan paket super kilat
Catatan terselip kepada si pengantar
"Harus tepat dikirimkan ke dadanya"
Sebuah peluru itu, tak mungkin dari laki-laki
yang dulu mencintainya
Semua laki-laki yang ia kenal sudah pergi lebih dulu
Satu yang paling tampan
Melemparkan batu seolah-olah itu granat tangan
Tapi senapan selalu lebih mesra
dari penyair mana saja
Yang mencoba peduli dengan puisi-puisi
Tapi diam bila moncong senjata itu
mencoba berkenalan dengan jantungnya
Ia menyadari, ia tidak bisa menangis hari itu
karena akan tak adil
bila ia kemudian tak menangisi semua orang
yang bertahan demi iman dan tanah air
Dengan tegar, ia berujar
Dunia ini selalu bisa kita pandang baik dan buruk
kecuali Israel terkutuk
Ia sedang berpuasa dan tak pernah membayangkan
malam minggu seperti apa
yang kerap dirasakan anak-anak muda
Ia hanya merindukan ayahnya
Ia merindukan masa kecilnya
Saat ia memimpikan suatu hari
Dunia yang ia kenal ini
Bersepakat tanpa senjata
Lalu segala hal yang mungkin dan tidak mungkin
terjadi dalam hidupnya
Termasuk manakala seorang lelaki
menyalami ayahnya
Dan air mata yang selama ini ia tahan
menderas dengan pantas
Demi mengucap kalimat "Setelah selamanya"
(2018)