Belakangan, anak-anak muda berpikir ingin jadi penulis. Munculnya platform seperti Wattpad, Storial, atau dulu sekali ada Kemudian, dan media sosial tentunya, membuat banyak orang berpikir bahwa menulis itu mudah. Acuannya sungguh kacau--jumlah keterbacaan. Seseorang dengan mudahnya mengklaim jagoan menulis ketika tulisannya viral, dibaca jutaan viewers di Wattpad, tanpa tahu makna dari kualitas yang sesungguhnya.
Penerbit-penerbit yang latah, yang harus mengguguk kepada ideologi pasar, kemudian mengaminkan klaim itu dengan menerbitkan tulisan-tulisan yang didasarkan pada popularitas tersebut.
Di dunia kepenyairan, malah muncul anomali lain, muncul seorang Denny JA, yang "memarketing" puisi-esai dengan membayar sejumlah orang untuk melegitimasi puisi-esai dan dirinya. Padahal, ia sendiri tak begitu paham dengan puisi dan kepenyairan.
Saya tak bisa membayangkan generasi seperti apa yang akan lahir dari cara-cara seperti itu.
Menulis adalah sebuah proses dan sebuah perjuangan. Menulis adalah hasil dari proses berpikir yang panjang, yang butuh dieram sedemikian rupa agar memiliki kematangan. Seorang penulis kerap kali ditempa oleh berbagai kompetisi, baik itu kurasi untuk dapat dimuat di koran, maupun memenangkan perlombaan. Seorang penulis harus mendasarkan dirinya pada kehausan akan ilmu pengetahuan, proses pencarian yang panjang tentang apa yang harus ia bela, tentang apa yang harus ia suarakan.Â
Menulis bukanlah pekerjaan "anak kecil" seperti Devi, yang ketika ditanya alasan kenapa ia melakukan plagiat, ia hanya menjawab, "Sebab kalau pakai kata-kata sendiri tidak terasa bagus!"
(2018)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H