Mohon tunggu...
Pringadi Abdi Surya
Pringadi Abdi Surya Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan kreatif

Lahir di Palembang. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Instagram @pringadisurya. Catatan pribadi http://catatanpringadi.com Instagramnya @pringadisurya dan Twitter @pringadi_as

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Senja Terakhir di Dunia

25 Februari 2018   17:17 Diperbarui: 26 Februari 2018   00:55 869
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tukang cerita itu tertunduk. Matanya sembab. Ia memandangi kembali gedung-gedung tinggi. Ia saksikan anak-anak tak lagi bisa bermain sepuasnya. Di tiap tiang listrik, ada pengumuman anak hilang. Di tiap mesjid, ada pengumuman kematian. Di tiap kafe, ada perayaan ulang tahun. Di tiap hotel pun, ada penyelenggaraan rapat, konsinyering, pembahasan peraturan yang jadi kedok penghabisan dana akhir tahun anggaran.

"Apa yang ingin kamu ketahui tentang aku, Alina?"
"Kesedihan."
"Tukang cerita tidak berhak memiliki kesedihan."
"Tukang cerita tidak berhak memiliki senja?"
"Sejatinya, kita memang tidak berhak memiliki apa-apa."
"Aku memang tidak pernah memiliki Sukab."

Alina menangis lagi. Ini kedua kalinya, ia menyaksikan Alina menangis. Di dalam hatinya, ia merasa cemburu kenapa air mata Alina tidak pernah dipersembahkan untuknya. Sukab, laki-laki yang telah membuatnya menangis itu, kini tak jelas juntrungannya. Bahkan oleh tukang cerita sekalipun, Sukab tak lagi bisa diceritakan. Mungkin, kini ia sedang bersenang-senang di sebuah negara yang tak ada dalam peta bersama Maneka. Ah, Maneka... Tiba-tiba ia pun ikut-ikutan menangis.
"Kenapa kamu ikut menangis?"
"Apa menangis perlu alasan?"

Keduanya menangis bersama-sama. Orang-orang yang menyaksikan mereka (ada yang sedang main catur, makan es krim, menyeruput kopi, mengangkat kasur yang baru dijemur, memarahi anaknya yang tidak mau pulang ke rumah) berhenti melakukan pekerjaannya dan ikut-ikutan menangis juga. 

Air mata mereka mengalir ke selokan. Selokan penuh air mata. Sudah lama rasanya air mata tidak sebanjir itu sejak beberapa puluh tahun lalu, sebelum senja menghilang dari bumi, saat ratusan ribu massa merangsek ke jantung pemerintahan menurunkan seorang kepala negara. Orang-orang menangis bahagia. Pada akhirnya, orang-orang tidak lagi menangis karena menyesal telah menghabiskan air matanya untuk kebahagiaan yang fana. Karena setelahnya, mereka dipaksa tertawa dan menertawakan semua kejadian yang seharusnya bikin mereka menangis.

"Aku baru menyadari ternyata setelah mulutku lama dibungkam dipenjara, dan aku hanya bercerita lewat surat-suratku kepadamu, Lin, aku lupa bagaimana cara memulai cerita dengan baik dan benar."
"Tak perlu hal yang baik pula benar di dunia ini... Kebaikan sudah jadi omong kosong. Kebenaran telah jadi pembenaran."
"Lantas, kenapa suratku tak pernah kamu balas?"
"Karena setiap melihat kertas surat, aku jadi teringat Sukab. Maaf."
"Orang-orang yang mencuri senja itu kebanyakan sudah ditangkap. Mereka dimasukkan ke dalam sel yang berdekatan denganku."
"Lalu, kenapa bumi masih tanpa senja?"

"Tidak semudah itu. Ada tiga jenis pencuri senja yang kutemui di penjara. Yang pertama, pencuri kacangan. Begitu diancam akan disiksa, mereka langsung menyerahkan senja yang mereka sembunyikan. Tentu, para sipir ini tidak bisa menampik godaan senja yang terang benderang itu. Ada yang diam-diam menyimpannya atau beberapa di antara mereka bersepakat untuk menjualnya kepada kepala penjara. Sebaliknya, yang sudah terlanjur memperjualbelikan atau malah menggunakan senja, pasti setiap malam mereka akan menjerit kesakitan karena digebuki oleh para sipir sialan itu.

Yang kedua ini pencuri elit. Gembong-gembong senja ini sudah kaya raya, punya harta yang berlimpah, dan dengan mudahnya mereka menyogok kepala penjara sampai para sipir. Mereka bahkan punya kamar khusus. Fasilitas khusus. Dijaga dengan sangat khusus biar tak ada media yang meliputnya."
"Kamu saja yang menceritakan ini ke media?"
"Siapa yang mau percaya kepada narapidana macam aku, Lin?"
"Aku."
"Ya, jika semua manusia di dunia punya hati sejujur kamu."
"Kejujuran memang mahal."
"Tidak semahal kebebasan."

Mereka saling berpandangan. Tukang cerita pelan-pelan memberanikan diri memeluk punggung tangan Alina. Alina diam saja. Beberapa saat kemudian, mereka sudah bergenggaman tangan. Masing-masing jari berada di sela jari yang lainnya. Mereka berjalan sambil menatapi langit yang masih cerah. Lalu Blup! Langit padam dan datanglah malam.
"Seperti inilah bumi tanpa senja, seperti tiba-tiba mati lampu saja," keluh Alina. "Sekarang, aku ingin mendengar apapun tentangmu. Kesedihan yang tak pernah kamu miliki itu...semuanya."

Lampu-lampu dinyalakan. Dari kejauhan, terlihat gedung-gedung berkerlap-kerlip. Di sepanjang gang ini, hanya beberapa rumah yang memiliki lampu. Harga bahan bakar yang naik membuat tarif dasar listrik ikut naik. Tidak banyak orang yang bisa bayar listrik. Jadi, mereka kembali ke masa lalu, menyalakan petromax, lampu teplok, atau lilin-lilin kecil yang tak pernah meleleh dimakan api.
"Namaku Sakum. Dulu, aku seorang penyair. Aku mengenal Sukab. Dan aku pernah memiliki seorang istri."
"Benarkah itu? Kenapa kamu baru menceritakannya sekarang?"

"Aku mengenal Sukab dari surat-suratnya kepada istriku, Maneka. Ia juga pernah mengirimkan sepotong bibir paling indah di dunia. Bibir itu bisa berbicara sendiri, bisa bercerita kisah-kisah yang membuat Maneka terbuai dan jatuh cinta. Lalu ia pun pergi mencari Sukab. Aku tidak tahu di mana dia sekarang. Hal yang terakhir kutahu, dia membuat sebuah cerita dan dalam ceritanya pun aku hanya muncul sebagai tokoh 'suami' yang disebutkan tiga kali dalamm ribuan kata yang lain.2) Menyedihkan bukan?"
"Ternyata, kita sama-sama menyedihkan ya?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun