Kayu gelam, kayu ini begitu populer sebagai stegeratau perancah untuk konstruksi beton. Kayu ini pun lazim digunakan sebagai bahan pembuatan kapal dan perahu karena sifatnya yang tahan air.
Di Sumatra Selatan yang merupakan daerah rawa, tanaman kayu gelam banyak tumbuh. Sejauh ini, kayu gelam kebanyakan digunakan sebagai kayu penopang sementara dalam pengerjaan konstruksi bangunan dan dibuang begitu saja setelahnya. Sisa kayu gelam ini sebenarnya dapat digunakan sebagai bahan baku briket arang.
Masagus Haidir Tamimi melihat potensi tersebut. Ia pun mempelajari cara membuat briket arang kayu gelam dengan melakukan perbandingan adonan arang dengan perekat tepung sagu yang berbeda.
Briket dengan kualitas yang baik memiliki tekstur yang halus, tidak mudah pecah, keras, aman bagi manusia dan lingkungan dan juga memiliki sifat-sifat penyalaan yang baik (mudah menyala, waktu nyala cukup lama, tidak banyak berasap).
Syamsiro dan Saptoadi (2007) mengatakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi nilai kalor briket:
(1) laju pembakaran briket semakin tinggi dengan tingginya kandungan senyawa yang mudah menguap (Volatil matter)
(2) Briket dengan nilai kalor yang tinggi dapat mencapai suhu pembakaran yang tinggi dan pencapaian suhu optimumnya cukup lama
(3) Semakin besar kerapatan briket maka semakin lambat laju pembakaran yang terjadi. Namun semakin besar kerapatan biobriket menyebabkan semakin tinggi pula nilai kalornya.
Standar kualitas secara baku untuk briket arang Indonesia mengacu pada Standar Nasional Indonesia (SNI) dan juga mengacu pada sifat briket arang buatan Jepang, Inggris, dan USA.