Mohon tunggu...
Pringadi Abdi Surya
Pringadi Abdi Surya Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan kreatif

Lahir di Palembang. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Instagram @pringadisurya. Catatan pribadi http://catatanpringadi.com Instagramnya @pringadisurya dan Twitter @pringadi_as

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Masjid Salman, Antara Kenangan dan Permintaan Maaf Said Agil

26 Mei 2017   11:49 Diperbarui: 26 Mei 2017   11:58 1582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masjid Salman ITB. Sumber: Merdeka.com

Lega rasanya, membaca permintaan maaf Said Agil Siradj atas perkataannya yang mengatakan radikalisme disebarkan melalui Masjid Salman. Viralnya perkataan Said Agil tersebut sempat menjadi bahan olokan dari teman-teman alumnus ITB, karena radikalisme seperti apa yang disebarkan Masjid Salman? Ada banyak pengalaman kami yang lucu-lucu dan berkesan selama berkuliah di ITB, dan Masjid Salman adalah masjid yang paling ramah buat mahasiswa seperti kami, terutama bila bulan Ramadhan tiba.

Sedikit yang tahu, sebelum menempuh pendidikan di STAN, saya sempat berkuliah di Matematika ITB selama 2 tahun. Namun, karena bego, saya pun kena DO. Tapi, bukan soal DO itu yang mau saya ceritakan sih. 

Saya bukan anak Masjid. Tapi, saya cukup sering berinteraksi dengan teman-teman di Masjid Salman. Masjid Salman menjadi tempat berkumpul, terutama bila harus mengerjakan tugas kuliah (PR). Apalagi bila menjelang masa ujian, koridor luar Masjid akan penuh terisi dengan mahasiswa yang belajar bersama-sama.

Persentuhan pertama dengan Masjid Salman terjadi pas awal masuk kuliah. Mahasiswa diharuskan mengikuti placment test Bahasa Inggris, untuk menentukan kelas perkuliahan nantinya. Saya bersama sahabat saya yang sama-sama satu SMA dari Palembang punya jadwal yang berbeda. Dia jurusan Teknik Industri. Saya sudah selesai tes sebelum salat Jumat. Dia baru tes selesai salat Jumat. Kami janjian untuk membicarakan pencarian kos-kosan. Namun, bakda salat, dia menemui saya dengan wajah sedih. Sepatunya hilang. Padahal sepatunya baru, iyalah baru, kan baru mau masuk kuliah.

Radikalisme paling fakta dari Masjid Salman adalah jangan berani-berani tidak menitip sepatu atau sandalmu yang bagus di tempat penitipan, karena maling sandal/sepatu di Masjid Salman benar-benar pintar. 

Masjid Salman sendiri adalah salah satu tempat ikonik di ITB. Pada tahun 60-an, mahasiswa ITB kalau mau salat Jumat harus pergi ke Cihampelas. Jauh. Pendirian masjid di sekitar kampus saat itu awalnya ditolak oleh rektor. Namun, Prof T.M. Soelaiman, Achmad Sadali, Imaduddin Abdulrachim, Mahmud Junus, dkk menggalang dukungan pendirian masjid. Dukungan pun datang bukan hanya dari muslim, dosen Planologi, Drs. Woworontu dan dosen Belanda, kajur Arsitektur--Prof. Roemond pun turut memberi dukungan. Akhirnya, dukungan ini pun berlanjut ke restu Presiden saat itu, Ir. Soekarno, sehingga berdirilah Masjid Salman ITB.

Hal terkenal lain dari Masjid ini adalah arsitekturnya. Ahmad Noeman yang merancangnya. Masjid tersebut dibangun berbeda dengan masjid lainnya yang tanpa kubah dan justru beratap rata. Ahmad tidak membuat tiang pancang di dalam masjid dengan tujuan agar shaf shalat berjamaah tidak terpotong. Filosofinya dalam sekali. Ia menjadi masjid pertama dengan arsitektur modern, meninggalkan banyak idiom klasik dari masjid, yang bermakna pembaharu, seorang muslim harus dapat menjadi pembaharu. Dan bentuknya dibuat begitu lega, tanpa sekat, sejuk, agar siapa saja bisa masuk, bersatu sebagai umat.

Saya tidak tahu bagaimana kemudian bisa ada pernyataan radikalisme dan Masjid Salman mengingat betapa welcome Masjid ini dengan umat. Ceramah-ceramah Salat Jumat-nya pun nggak pernah ada yang nyeleneh, dan malah sangat progresif yang sering kali mencari korelasi, hikmah, antara ilmu pengetahuan dan agama. Salman tidak pernah melihat latar belakangmu apa, tujuanmu apa, kalau mau belajar agama ya monggo, dan ada kelas-kelas seperti kelas tahsin buat belajar baca Quran, kelas tahfidz buat menghapal Quran, kelas bahasa Arab, kelas-kelas lain yang disusun dengan seolah kurikulum. 

Keluarga Mahasiswa Islam (Gamais) ITB alias rohisnya ITB memang juga "berkumpul" di sekitar Salman dan peruncingan ideologi terjadi ketika pemilihan presiden Keluarga Mahasiswa ITB yang kerap disebut pertarungan Utara-Selatan. Kubu Sunken Court dengan poster Che Guavara vs Kubu Salman. Dulu sih begitu pada tahun 2005. Setiap pemilihan, seru sekali. Tapi mengingat anak-anak ITB sekarang sudah banyak yang kaya-kaya dan gaul abis, sudah nggak ngerti bagaimana pergulatan macam itu terjadi.

Melihat fakta-fakta itu, selama pengalamanku di sana, sangat salah kalau ada yang bilang penyeberan radikalisme melalui Masjid Salman.

Namun, yang menjadi catatan adalah karena siapa pun bisa berada di area Masjid, kita harus waspada. Ada satu kelompok yang pernah saya jumpai baik di ITB maupun di STAN. Mereka bergerak secara sembunyi-sembunyi dan menghampiri mahasiswa. Nama kelompok itu adalah NII (Negara islam Indonesia). 

Teman saya yang kehilangan sepatu itu memang alim, nggak kayak saya. Dia kerap bertilawah di koridor masjid seusai salat. Saat itulah, ada laki-laki yang menghampirinya. Dari mengajak ngobrol biasa, lalu lelaki ini mulai masuk ke perdebatan substansial mengenai negara. Ya, dia mengincar teman saya untuk masuk NII. Untunglah teman saya ini nggak bego kayak saya. Dia oh-oh kan saja setiap argumennya sampai bosan dan meninggalkannya. Ada banyak cerita mahasiswa ITB yang broken karena berhasil dipengaruhi NII karena mereka diharuskan membayar semacam iuran begitu.

Hal mirip terjadi pada teman satu kos saya di STAN. Tiba-tiba dia masuk ke kamar saya dan bertanya, apakah saya tahu NII? Saya pun langsung menduga ada sesuatu yang terjadi padanya. Dan benar dia bercerita, baru ditemui seseorang, lalu diajak dialog tentang Islam, dan entah kenapa ia menurut saja saat ia dibawa ke ATM dan mentransfer sejumlah uang (kalau nggak salah 5 juta waktu itu). Saya balik bertanya, apakah dia sempat diajak ke suatu tempat untuk dibaiat. Ia bilang katanya belum, baru Minggu ini. Dan kukatakan padanya untuk sadar akan bahayanya NII kalau sudah dibaiat. Dia tampak linglung waktu itu dan saya tak tahu apakah cara rekrutmen mereka ada hubungannya dengan hipnotis. Padahal teman satu kos saya itu punya sertifikat hypnotheraphy. Kemudian dia baru bercerita teman yang mengajaknya itu seorang perempuan, dan cantik. Dan baru kubilang wajar....perempuan memang melenakan. Hehe.

Apapun itu, saya bersyukur sekali ketika ketua umum PBNU itu meminta maaf dan mengaku khilaf atas ucapannya setelah berdiskusi dengan beberapa pengurus Salman untuk klarifikasi. Saya nggak ngerti juga kenapa radikalisme disebut melulu akhir-akhir ini, dan nggak tahu kepada kelompok mana ia harus disematkan. Ketika orang-orang membicarakan FPI, HTI, PKS, dll...saya justru teringat NII dan entah kenapa sampe sekarang organisasi ini diam-diam masih ada, dan masih saja ada yang percaya, padahal aslilah, saya pikir motif mereka cuma ngumpulin iuran dari anak-anak yang sudah tercuci otaknya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun