Teman saya yang kehilangan sepatu itu memang alim, nggak kayak saya. Dia kerap bertilawah di koridor masjid seusai salat. Saat itulah, ada laki-laki yang menghampirinya. Dari mengajak ngobrol biasa, lalu lelaki ini mulai masuk ke perdebatan substansial mengenai negara. Ya, dia mengincar teman saya untuk masuk NII. Untunglah teman saya ini nggak bego kayak saya. Dia oh-oh kan saja setiap argumennya sampai bosan dan meninggalkannya. Ada banyak cerita mahasiswa ITB yang broken karena berhasil dipengaruhi NII karena mereka diharuskan membayar semacam iuran begitu.
Hal mirip terjadi pada teman satu kos saya di STAN. Tiba-tiba dia masuk ke kamar saya dan bertanya, apakah saya tahu NII? Saya pun langsung menduga ada sesuatu yang terjadi padanya. Dan benar dia bercerita, baru ditemui seseorang, lalu diajak dialog tentang Islam, dan entah kenapa ia menurut saja saat ia dibawa ke ATM dan mentransfer sejumlah uang (kalau nggak salah 5 juta waktu itu). Saya balik bertanya, apakah dia sempat diajak ke suatu tempat untuk dibaiat. Ia bilang katanya belum, baru Minggu ini. Dan kukatakan padanya untuk sadar akan bahayanya NII kalau sudah dibaiat. Dia tampak linglung waktu itu dan saya tak tahu apakah cara rekrutmen mereka ada hubungannya dengan hipnotis. Padahal teman satu kos saya itu punya sertifikat hypnotheraphy. Kemudian dia baru bercerita teman yang mengajaknya itu seorang perempuan, dan cantik. Dan baru kubilang wajar....perempuan memang melenakan. Hehe.
Apapun itu, saya bersyukur sekali ketika ketua umum PBNU itu meminta maaf dan mengaku khilaf atas ucapannya setelah berdiskusi dengan beberapa pengurus Salman untuk klarifikasi. Saya nggak ngerti juga kenapa radikalisme disebut melulu akhir-akhir ini, dan nggak tahu kepada kelompok mana ia harus disematkan. Ketika orang-orang membicarakan FPI, HTI, PKS, dll...saya justru teringat NII dan entah kenapa sampe sekarang organisasi ini diam-diam masih ada, dan masih saja ada yang percaya, padahal aslilah, saya pikir motif mereka cuma ngumpulin iuran dari anak-anak yang sudah tercuci otaknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H