Pada tahun 2017, pemerintah memprioritaskan program pemerataan kesejahteraan yang lebih baik. Berdasarkan data BPS, sejak 2011 gini ratio Indonesia ada pada angka 0,41. Angka itu sedikit membaik pada 2016, gini ratio menjadi 0,397.
Angka tersebut sebenarnya belum begitu menggambarkan ketimpangan yang terjadi di masyarakat dikarenakan penghitungan gini ratio dilakukan dengan pendekatan pengeluaran. Kritik Paul Romer pada Keynesian adalah pendekatan pengeluaran/konsumsi tidak bisa menggambarkan pendapatan secara keseluruhan. Hal ini memungkinkan kenyataan ketimpangan yang terjadi sebenarnya jauh lebih ebsar. Hal ini terlihat dari data yang dikeluarkan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) yang menyebutkan Indonesia masih berada pada peringkat ke-4 negara paling timpang dengan salah satu indikasi 1% orang terkaya di negeri ini menguasai 49,3% aset nasional. Indikasi lain ada pada data jumlah uang dengan rekening yang nilainya di atas 2 milyar bernilai 49% total uang yang ada di rekening dan hanya dimiliki oleh 1,5% rekening.
Pada awal pembangunan, menurut Simon Kuznets, pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan diikuti oleh ketimpangan yang tinggi pula. Menurut Lincoln Arsyad (1997) pertumbuhan ekonomi tinggi gagal untuk mengurangi bahkan menghilangkan besarnya kemiskinan absolut. Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi yang cepat tidak secara otomatis meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Karena apa yang disebut dengan proses ”trickle down effect” dari manfaat pertumbuhan ekonomi bagi penduduk miskin tidak terjadi seperti apa yang diharapkan. Masalah distribusi pendapatan mengandung dua aspek.
Aspek pertama adalah bagaimana menaikkan tingkat kesejahteraan mereka yang masih berada di bawah garis kemiskinan, sedang aspek kedua adalah pemerataan pendapatan secara menyeluruh dalam arti mempersempit perbedaan tingkat pendapatan antar penduduk atau rumah tangga. Keberhasilan mengatasi aspek yang pertama dapat dilihat dari penurunan persentase penduduk yang masih berada di bawah garis kemiskinan. Sementara keberhasilan memperbaiki distribusi pendapatan secara menyeluruh, adalah jika laju pertambahan pendapatan golongan miskin lebih besar dari laju pertambahan pendapatan golongan kaya.
Sementara itu, defisit anggaran pada tahun 2016 masih di bawah 3%, yakni 2,46%. Batas aman 3% yang diamanatkan Undang-Undang diadopsi dari Kriteria Maastricht yang menyatakan rasio defisit pemerintah tahunan dengan produk domestik bruto (PDB) tidak boleh lebih dari 3% pada akhir tahun fiskal selanjutnya. Jika tidak, negara tersebut diwajibkan mencapai tingkat mendekati 3%. Hanya ekses pengecualian dan sementara yang diperbolehkan untuk dikecualikan.
Defisit anggaran ini digunakan untuk membiayai infrastruktur. Pada tahun 2009. belanja infrastruktur kita adalah sekitar 76,3 Trilyun. Pada tahun 2010, belanja infrastruktur naik sedikit menjadi 86 Trilyun. Pada tahun 2011, 114,2 T. Pada tahun 2012 145,5. Sedangkan pada tahun 2013, 184,3 T. Perbandingan belanja infrastuktur terhadap PDB Indonesia bahkan kalau jauh dari negara-negara di ASEAN. Kita hanya berada di atas Filipina dan Vietnam.
Pada pemerintahan Jokowi, kebijakan itu berubah. Dalam Nota Keuangan APBN 2017 disebutkan, tahun 2015 diawali dengan perubahan paradigma pengelolaan keuangan negara dengan mengalihkan sebagian belanja yang bersifat konsumtif menjadi produktif melalui reformasi subsidi energi dan belanja negara. Subsidi energi, terutama bahan bakar minyak (BBM) diubah dari subsidi harga menjadi subsidi tetap yang hanya diberikan untuk solar, sedangkan premium sudah tidak lagi disubsidi, dan hasil penghematan digunakan untuk belanja yang lebih produktif. Kebijakan pemberian subsidi itu pun dikurangi hingga hanya sekitar 80 Triliun menyebabkan adanya uang tabungan bersih sekitar 186 Trilyun. Dari situlah kemudian pemerintah mendapatkan tambahan anggaran infrastruktur. Dan pada tahun 2016 ini anggaran infrastruktur kita lebih dari 300 Trilyun.
Di pemerintahan baru ini pembangunan infrastruktur marak dibicarakan. Adanya tol laut membutuhkan pembangunan dermaga-dermaga baru. Kereta api jalur Sumatra dan Sulawesi juga serius dihitung yang investasinya setidaknya membutuhkan anggaran total sekitar 60 triliun. Pembangunan kereta api cepat Jakarta-Bandung seakan ingin menjawab betapa sudah tidak akomodatifnya perjalanan melalui mobil yang setiap hari di diancam kemacetan sedemikian parah.
Anggaran belanja infrastruktur dalam APBN 2017 meningkat Rp 40,8 triliun dari pagu R-APBN 2017, yang dialokasikan sebesar Rp 346,6 triliun. Hal ini terjadi karena adanya peningkatan earmark Dana Transfer Umum. Belanja infrastruktur ini akan disalurkan kepada enam sasaran pembangunan. Yang pertama ialah pembangunan jalan sepanjang 815 kilometer dan jembatan sepanjang 9.399 kilometer. Selain itu, infrastruktur kereta api, transportasi laut dan udara pun jadi target. Pemerintah akan membangun jalur kereta api sepanjang 550 kilometer. Untuk transportasi laut, pemerintah akan membangun dan mengembangkan pelabuhan di 55 lokasi. Di bidang transportasi udara, akan ada 13 bandara yang dibangun baru dan lanjutan.
Belanja infrastruktur berkorelasi positif dengan pertumbuhan ekonomi dengan catatan belanja infrastuktur tersebut diarahkan pada pendukung pertumbuhan ekonomi seperti kegiatan-kegiatan dalam bidang kedaulatan pangan (Rp25,8 triliun), energi ketenagalistrikan (5,0 triliun), kemaritiman (15,3 triliun), pariwisata dan ekonomi kreatif (Rp2,1 triliun) serta kegiatan industri (Rp1,6 triliun). Baik itu didanai APBN, public private partnership, atau bentuk kerja sama lain yang sifatnya b to b, sungguh pembangunan infrastruktur saat ini sangat diperlukan. Namun, belanja infrastruktur yang bersumber dari APBN, yang penyerapannya tidak proporsional, tidak serta-merta memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Efek itu baru akan terasa setelah infrastruktur tersebut jadi dan dapat dioperasikan secara normal.
Di luar Jawa, yang sudah sangat lama diabaikan, pembangunan infrastruktur utama adalah harga mati (gedung sekolah, rumah sakit, dll). Sementara itu, data juga menunjukkan infrastruktur di lima provinsi utama di Indonesia seperti DKI Jakarta juga butuh perbaikan. Dengan begitu Indonesia mendapatkan tantangan besar dalam bagaimana menyediakan dana untuk pembangunan infrastruktur mengingat angagran yang sedemikian terbatas. Banyak hal perlu dilakukan untuk memperluas ruang fiskal dan itu bukan tanpa hambatan politik maupun bukan politik.
APBN kita yang terus meningkat di sisi belanja menghadapi ancaman serius dari tidak tercapainya target pernerimaan. Dalam beberapa tahun terakhir, target penerimaan perpajakan tidak tercapai. Tidak tercapainya target tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari lesunya perekonomian hingga masalah kepatuhan wajib pajak.
Memecahkan persoalan perpajakan ini bukanlah perkara mudah. Jika tingkat pajaknya yang dinaikkan, maka semakin tinggi pajak diperlukan untuk membiayai pengeluaran publik, semakin mengurangi pendapatan disposable dari para pembayar pajak, sehingga membatasi kebebasan ekonomi mereka dan kemampuan mereka untuk membeli apa yang mereka inginkan dari pasar.Kemungkinan besar, dalam jangka panjang, tingkat pajak yang tinggi mungkin juga memiliki dampak negatif pada efisiensi ekonomi dan pertumbuhan ekonomi, terutama jika pajak dikumpulkan secara tidak efisien dan uang dibelanjakan secara tidak produktif.
Potensi PNBP perlu dilirik lebih jauh. Salah satu contoh saja adalah PNBP BLU. Pada tahun anggaran 2007 realisasi PNBP BLU kurang lebih sebesar Rp2 triliun. Sedangkan pada tahun anggaran 2015 target PNBP BLU sebesar Rp23,1 triliun dengan realisasi mencapai lebih dari Rp35,2 triliun. Hal ini mencerminkan banyaknya ruang untuk peningkatan penerimaan yang bersumber dari bukan pajak.
Ancaman selanjutnya adalah berkaca pada penelitian yang dilakukan OEDC adalah bahwa public spendingtidak berkorelasi dengan pertumbuhan indeks pembangunan manusia. Hal ini terjadi karena distribusi manfaat yang diterima antarpenduduk tidak seimbang. Ketidakseimbangan ini disebabkan adanya kesenjangan ekonomi. Sehingga pemerintah harus membagi fokus antara menyediakan infrastruktur utama terlebih dahulu ketimbang infrastruktur pro growth.
Yang dilakukan di Amerika Latin kemudian adalah, mengalokasikan anggaran pada belanja subsidi sosial. Sehingga yang lebih penting adalah, masyarakat dapat merasakan tangan pemerintah secara utuh dalam urusan-urusan kebutuhan asasi seperti pendidikan dan kesehatan dengan baik. Hal itu yang kemudian akan mendorong peningkatan indeks pembangunan manusia.
Dalam Nota Keuangan, APBN 2017 disebut sebagai tahun konsolidasi fiskal, baik itu di sisi pendapatan negara, belanja negara, maupun sisi pembiayaan anggaran. Di bidang pendapatan negara, dilakukan perbaikan perhitungan penerimaan perpajakan agar sejalan dengan basisperhitungan penerimaan perpajakan yang lebih rasional. Di bidang belanja negara, dilakukan efiiensi dan penajaman pada belanja operasional, namun tetap fokus pada pembangunan infrastruktur, pengurangan kemiskinan dan kesenjangan sosial, serta penciptaan lapangan kerja. Sementara itu, di bidang pembiayaan anggaran, dilakukan penghematan pada pembiayaan investasi dengan fokus pada kemandirian BUMN dan infrastruktur dengan mencari sumber pembiayaan yang murah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI