Sekitar lima tahun yang lalu, masih kuingat jelas tatkala aku hendak mengurus Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) sebagai salah satu dokumen kelengkapan CPNS. Aku berusaha mengikuti prosedur dengan datang dulu ke Polsek terdekat untuk meminta surat pengantar. Aku datang pagi hari, ikut antrian, dan di loket aku disambut dengan muka jutek. Aku bertanya kenapa aku didiamkan. Petugas penjaga memarahiku karena aku memakai sandal. Aku disuruh pulang. Pukul satu aku datang lagi, kali ini dengan memakai sepatu. Tapi petugas penjaga itu belum ada. Kata rekannya, ia pulang makan siang. Kutunggu hingga jam 3 sore, ia tak datang juga. Rekannya yang lain bilang, biasa itu dia nggak akan balik ke kantor lagi sampai absen. Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Seseorang yang bicara peraturan tentang sandal justru mengabaikan peraturan tentang jam kerja.
[caption caption="Ilustrasi Konsultasi dengan Petugas Satuan Kerja (Padahal Itu Ahmad Fuadi). Dokumen Pribadi."][/caption]
Ketika bekerja, aku ditempatkan di Front Office Seksi Pencairan Dana. Tugasku melayani petugas satuan kerja, baik itu dalam memeriksa Surat Perintah Membayar (SPM), yakni dokumen yang digunakan untuk meminta pencairan dana APBN, maupun dalam melayani konsultasi terkait aplikasi dan peraturan perbendaharaan.
Ada-ada saja tingkah petugas satuan kerja. Pernah suatu sore, pukul 3 lewat, seseorang masuk menggunakan kaos dan celana pendek, bersandal jepit, mengantarkan SPM. Heran rasanya, seseorang di jam kerja, merepresentasikan kantor tertentu, datang untuk urusan kedinasan, tapi sebebas itu. Teringat kisahku dipermainkan polisi itu, ingin rasanya berlaku sama. Toh, kasus ini lebih keterlaluan. Dulu, aku bukan representasi kantor tertentu, dan aku tidak pakai sandal jepit. Namun, Kepala Kantorku yang biasa mengontrol kemudian menegur petugas satuan kerja itu. Ia memberi pengertian. SPM tetap maju ke mejaku untuk diperiksa saja, tetapi tidak dapat diproses. Untungnya, SPM itu masih memiliki kesalahan sehingga alasan pengembalian bukan karena sandal jepitnya saja.
Kantor-kantor pemerintah, organisasi publik, makin kini makin mengubah wajahnya. Kepolisian Republik Indonesia sendiri kini sudah memakai frasa “melindungi dan melayani”. Kementerian Keuangan bahkan sudah sejak lama meletakkan kata “Pelayanan” di kantor-kantor vertikalnya. Sebut saja Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN), Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dan Kantor Pelayanan Bea dan Cukai (KPBC). Pelayanan bahkan menjadi salah satu nilai Kementerian Keuangan.
Dalam dinamika administrasi publik, pelayanan adalah ciri dari era yang disebut dengan New Public Service (NPS). Era ini mengubah cara pandang pemerintah yang sebelumnya dikenal dengan New Public Management (NPM), yang era sebelumnya lagi adalah Old Public Administration (OPA) yang kaku, mengatur dan berjarak kepada publik.
Ada 7 kunci pokok yang membedakan NPS dengan NPM maupun OPA:
1. Serving, rather than steering. Peran penting yang berkembang dalam pelayanan publik adalah untuk membantu masyarakat dalam mengartikan atau memahami kepentingan mereka ketimbang mengatur atau mengarahkan masyarakat ke arah yang diinginkan pemerintah. Jadi, bukan tentang ya atau tidak, tapi pemerintah mengajak masyarakat untuk bersama-sama merumuskan apa yang harus dilakukan dan merealisasikannya.
2. The public interest is the aim, not the by-product. Maksudnya, pemerintah harus terus-menerus mengenali kebutuhan masyarakat. Hari ini, pemerintah telah membuat sesuatu untuk masyarakat, tetapi zaman berubah, kebutuhan berubah, pemerintah harus dapat mengenali itu semua. Selain itu, dalam NPS, dituntut adanya tanggung jawab bersama. Masyarakat juga nggak boleh cuek atau malah merusak produk yang sudah ada. Sebagai contoh taman kota, juga barang publik apa saja. Di Kementerian Keuangan sendiri, ada banyak produk yang dihasilkan. Misal, Modul Penerimaan Negara (MPN) telah menjadi MPN-G2 guna memberikan pelayanan yang lebih baik. Atau juga Sistem Perbendaharaan Anggaran Negara (SPAN) yang awal kemunculannya banyak diragukan, namun lambat laun menuai banyak pujian karena dengan SPAN, negara dapat mengumpulkan banyak data dan menyederhanakan proses bisnis.
[caption caption="Produk Kemenkeu 2015. Sumber: Kemenkeu."]
3. Think strategically, act democratically. Berpikir strategis berarti menyadari bahwa suatu kegiatan pasti memiliki hubungan dengan kegiatan lain, atau menuntut adanya sinergi antarorganisasi. Kemenkeu menyadari hal itu dengan mencanangkan layanan bersama antara 3 unit eselon I.
4. Serve citizens, not customers. Ciri NPM adalah menganggap rakyat sebagai pelanggan. NPM mengadopsi praktik-praktik di sektor privat, dan menjadikan financial perspective sebagai tujuan. Maka, keuntunganlah yang didahulukan, bukan kepentingan rakyat. Terjadi pula privatisasi BUMN misalnya, itu adalah ciri dari NPM karena negara tidak mau rugi. Sementara NPS meletakkan customer perspective sebagai tujuan utama. Kemenkeu dalam hal ini sudah menerapkan Balance Score Card sejak lama dan meletakkan stakeholder dan customer perspective sebagai yang utama. Value dari melayani rakyat jauh lebih besar daripada memikirkan keuntungan.
5. Accountability is not simple. NPS adalah era keterbukaan informasi. Segalanya harus akuntabel. Rakyat berhak tahu apa yang telah, apa yang sedang, dan apa yang akan dilakukan pemerintah.
6. Value people, not just productivity. Karena itulah dalam tata kerja Transformasi Kelembagaan, Kemenkeu memberikan value kepada pegawainya dengan adanya pengembangan karir melalui talent management, kemudahan dalam pelaksanaan tugas, penghargaan finansial dan nonfinansial untuk yang berprestasi, pengembangan kapasitas pegawai dan peningkatan kualitas pengelolaan kinerja dan perilaku.
7. Value citizenship and public service above entreprenaurship. Misalnya, dalam sektor privat dikenal adanya penganggaran modal untuk belanja infrastruktur. Sebuah proyek dinilai kelayakannya dari segi ekonomi. Tetapi di sektor publik, penganggaran modal dilakukan dengan analisis biaya dan manfaat dengan mengestimasi nilai dari manfaat yang diterima masyarakat (target outcome) sebagai manfaat yang dapat dikuantifikasi. Jadi kesejahteraan masyarakat adalah value tertinggi dari sudut pandang NPS.
Memang saat ini, belum semua elemen pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah bicara tentang NPS. Bahkan masih ada yang sangat kaku dan mengatur, seolah-olah menjadi birokrat adalah menjadi raja. Pemikiran itu sungguh sangat usang. Yang masih mendingan adalah yang berpikir NPM, mana yang nggak rugi. Tapi era NPS yang mewabah di Eropa di tahun 2000-an ditandai dengan maraknya pemerintah menasionalisasi kembali perusahaan-perusahaan yang sebelumnya diprivatisasi sudah menjadi tuntutan nyata untuk pemerintah dalam melayani rakyatnya. Siap atau tidak siap. Mau atau tidak mau.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H