Mohon tunggu...
Pringadi Abdi Surya
Pringadi Abdi Surya Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan kreatif

Lahir di Palembang. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Instagram @pringadisurya. Catatan pribadi http://catatanpringadi.com Instagramnya @pringadisurya dan Twitter @pringadi_as

Selanjutnya

Tutup

Money

Indonesia Terus Berutang

7 Januari 2016   07:33 Diperbarui: 7 Januari 2016   08:03 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia Terus Berutang. Begitulah tajuk di sebuah televisi swasta beberapa waktu lalu. Saya tidak tahu konteks tajuk tersebut apakah tentang pembengkakan utang ataukah memang sang pembuat berita tak paham sistem yang tengah kita gunakan sekarang adalah anggaran defisit. 

Ada 3 sistem penganggaran, yakni surplus, anggaran, dan defisit.

Kegiatan perekonomian yang dilakukan oleh suatu negara senantiasa berhadapan dengan usaha untuk meningkatkan kesejahteraan penduduknya. Dalam hal ini, pertumbuhan ekonomi menjadi suatu syarat untuk tercapainya masyarakat yang sejahtera. Pembangunan ekonomi tidak hanya berfokus pada perkembangan ekonomi, tetapi juga mengenai peningkatan kesejahteraan, keamanan dan kualitas sumber daya yang dimiliki. Sumber daya dimaksud bukan hanya pengolahan sumberdaya alam, tetapi juga mengenai peningkatan kualitas sumber daya manusia. Khusus terhadap pertumbuhan ekonomi, diperlukan adanya kebijakan yang kondusif agar sesuai dengan target yang telah ditetapkan.

Menurut Rahardja dan Manurung (2004), defisit anggaran adalah anggaran yang memang direncanakan untuk defisit, karena budget constraint, pengeluaran pemerintah direncanakan lebih besar dari penerimaan pemerintah (G>T) untuk memenuhi tujuan bernegara. Anggaran yang defisit ini biasanya ditempuh bila pemerintah ingin menstimulasi pertumbuhan ekonomi. Hal ini umumnya dilakukan bila perekonomian berada dalam kondisi resesi.

Definisi dari defisit anggaran menurut Samuelson dan Nordhaus (2001) adalah suatu anggaran ketika terjadi pengeluaran lebih besar dari pajak. Sedangkan menurut Dornbusch, Fischer dan Startz defisit anggaran adalah selisih antara jumlah uang yang dibelanjakan pemerintah dan penerimaan dari pajak. Kombinasi dari besaran pengeluaran dan penerimaan pemerintah terangkum dalam suatu anggaran pemerintah.

Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi diperlukanlah peran pemerintah di dalam perekonomian. Pada dasarnya peranan pemerintah dalam perekonomian sangat luas. Salah satu bentuk aktivitas tersebut dapat dirangkum dalam kerangka anggaran pemerintah. Anggaran suatu negara dapat disusun berbeda-beda tergantung pada kondisi perekonomian negara tersebut.

Suatu negara dapat menyusun anggarannya secara seimbang apabila kondisi perekonomian normal. Kebijakan anggaran yang surplus dapat diaplikasikan manakala terjadi perubahan kebijakan fiskal yang bersifat Ekspansioner atau Kontraksioner (Shone,1989:116). Selain itu, negara juga dapat menyusun penganggaran defisit.

Pada masa Depresi Besar, teori klasik ataupun neo klasik tak dapat menyelesaikan persoalan. Keynes datang membawa solusi, pada masa resesi, anggaran berimbang atau surplus tidak dapat diterapkan. Pemerintah haruslah menerapkan defisit anggaran. Kini, defisit anggaran diterapkan hampir di setiap negara.

Pada saat perekonomian mengalami krisis, defisit anggaran pemerintah merupakan kebijakan yang dipilih oleh banyak negara untuk menggairahkan perekonomian.

Bagi negara yang sedang berkembang, utang merupakan salah satu sumber dana untuk membantu mempercepat proses pembangunan ekonomi negaranya. Hal ini terjadi karena belum cukupnya dana yang berasal dari tabungan di dalam negeri, sehingga sumber pembiyaan berupa utang, khususnya utang dari luar negeri sangat diperlukan. Salah satu alternatif untuk mencukupi kekurangan dana di negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia diatasi oleh pemerintah yang bersangkutan dengan cara mencari bantuan berupa utang.

Pengeluaran pemerintah untuk pembiayaan pembangunan ekonomi dengan menggunakan utang, khususnya yang bersumber dari luar negeri memang mendatangkan manfaat, namun selain memperhatikan pemanfaatannya bagi pertumbuhan perekonomian, hal lain yang harus dipikirkan ada beban utang yang muncul di kemudian hari.

Tentang seberapa penting defisit anggaran, kita akan menemukan jawaban yang berbeda tergantung pada keadaan/status ekonomi suatu negara. 

Kebijakan defisit anggaran menjadi penting dalam masa krisis sehingga banyak persoalan menjadi dilematis dalam memilih kebijakan fiskal yang tepat. Kebijakan defisit maupun surplus anggaran menjadi isu penting untuk dikaji karena dalam siklus bisnis defisit anggaran menjadi pembahasan yang cukup serius dalam memacu pertumbuhan ekonomi.

Secara teoritis, kebijakan defisit anggaran mempengaruhi variabel moneter malalui dua jalur (R. Maryanto, 2004). Kedua jalur tersebut mempengaruhi variable moneter melalui sektor riil dan melalui hubungan keuangan antara pemerintah dan penguasan moneter.

Stanley Fischer dan William Easterly (1990) juga mengungkapkan terdapat hubungan antara persamaan income account budget, persamaan pendanaan defisit anggaran, dan persamaan dinamik antara evolusi rasio utang terhadap GNP. Efek kebijakan defisit anggaran merupakan pergerakan yang tidak tampak karena mempunyai dampak jangka panjang.

Mengurangi Defisit Anggaran

Di dalam dokumen Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2015, pemerintah berencana menurunkan target defisit anggaran tahun 2015 menjadi 1,9 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Menurut Menteri Keuangan, Bambang P.S. Brodjonegoro, penurunan defisit anggaran ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk mengurangi defisit transaksi berjalan.

Seperti diketahui, sebelumnya, dalam APBN tahun anggaran 2015 defisit anggaran ditargetkan sebesar 2,21 persen dari PDB. Tujuan pengurangan target defisit anggaran ini sendiri adalah untuk memberikan sinyal kepada pelaku pasar bahwa pemerintah bersungguh-sungguh untuk mengurangi defisit anggaran sekaligus defisit transaksi berjalan pada tahun 2015 ini.

Penurunan defisit transaksi berjalan sendiri sangat diperlukan sebagai upaya untuk memitigasi dampak rencana penaikan tingkat bunga oleh bank sentral Amerika Serikat (AS).

Namun seperti yang kita tahu, penurunan itu hanya anganangan. Defisit anggaran malah bertambah menjadi 2,8%.

Mengurangi defisit anggaran itu sebenarnya dapat menjadi masalah. Jika sebuah negara punya defisit yang meningkat cepat, maka pemerintah harus membuat kebijakan pengurangan defisit. Hal tiba-tiba ini bisa menyebabkan pertumbuhan ekonomi melambat dan resesi ekonomi.

Mengurangi atau menambah defisit anggaran, tentulah harus diperhatikan penggunaan pembiayaan defisit anggaran tesebut. Menilik kondisi saat ini, APBN kita masih negative net flow. Cash Flow Negatif adalah situasi di mana pembayaran (dana yang ke luar) selama jangka waktu tertentu melebihi arus kas masuk (dana yang masuk) pada periode yang sama. Hal ini dicontohkan bahwa Pemerintah meminjam dana 1 milyar rupiah, namun di tahun yang sama kita membayar pinjaman sebesar 2 milyar rupiah. Hal ini secara langsung menunjukkan bahwa setiap utang yang diterima tidak memiliki manfaat pada proses pembangunan di Indonesia. Hal inilah yang mendasari pemerintah untuk berusaha mengurangi porsi pembiayaan yang berasal dari pinjaman luar negeri. Perlu disadari atau tidak bahwa kebijakan utang luar negeri hanya melanjutkan praktik eksploitasi luar negeri terhadap anggaran Indonesia akibat terjadinya selisih transfer negatif sejak tahun 1984/1985.

Selain itu penggunaan utang luar negeri bukan merupakan solusi untuk mengurangi beban utang karena makin meningkatnya beban-beban utang dari penarikan utang – utang baru berbiaya mahal yang sangat bias dengan kepentingan kreditor.

Hal lain yang mendasar dari net negative flow adalah Indonesia mengirim hasil kegiatan ekonomi nasional ke luar yang ditransfer untuk pembayaran utang. Net negative flow juga menyebabkan struktur ekonomi menjadi rentan karena kebutuhan pembayaran hutang yang besar sekaligus kebutuhan cadangan ekonomi yang besar.

Namun, kegagalan dalam mengurangi defisit anggaran, seperti yang sudah diterakan sebelumnya, dapat merusak pertumbuhan ekonomi. Kegagalan dalam mengurangi defisit anggaran dapat disebabkan beberapa hal. Pertama, perbedaan antara riil GDP dengan nominal GDP. Penerimaan perpajakan yang tidak tercapai dan di bawah tax ratio. Dan yang ketiga, arah fiskal belum berada di sisi penawaran. Arah fiskal yang belum berada di sisi penawaran ini menyebabkan kegiatan produksi belum memiliki nilai yang signifikan untuk menciptakan neraca perdagangan yang baik.

Jika penerimaan tak bisa begitu diharapkan, pemerintah juga harus baik-baik dalam melihat sisi belanjanya.

Masalah utama dalam fiscal sustainability sebenarnya adalah pada seberapa besar tingkat defisit dan utang yang dipunyai oleh pemerintah.
Dalam Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Pasal 12 ayat 3 telah dinyatakan bahwa rasio defisit dan rasio utang masing-masing tidak boleh lebih dari 3 persen dan 60 persen dari PDB. Yang menjadi pertanyaannya adalah bagaimana cara menjaga defisit anggaran dan tingkat utang yang aman sehingga fiscal sustainability dapat terjaga.
Ada beberapa faktor yang dianggap dapat menjaga kondisi fiskal agar tetap sustain dan sekaligus memaparkan bahwa ada beberapa faktor yang menjadi ancaman terhadap kesinambungan fiskal tersebut. Secara umum dapat dikatakan bahwa kesinambungan fiskal dapat terjadi apabila asumsi ekonomi makro mendekati angka aktualnya, APBN mempunyai nilai keseimbangan primer yang positif dan mempunyai kapasitas dalam membayar utang, pemerintah dapat mengendalikan mandatory dan nondiscretionary spending sehingga pemerintah mempunyai ruang fiskal yang cukup, dan pemerintah dapat meminimalkan kondisi kerentanan fiskal serta mempunyai fleksibilitas dalam mengelola penerimaan dan belanja terutama dalam kondisi mendesak.
Besaran mandatory spending—yaitu pengeluaran negara pada program-program tertentu yang dimandatkan atau diwajibkan oleh ketentuan peraturan perundangan yang berlaku—semakin lama semakin membesar. Misalnya, dalam APBN 2013 bahwa yang termasuk mandatory spending yaitu
1. Kewajiban anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN/APBD sesuai amanat Amandemen keempat UUD 1945 pasal 31 ayat (4) tentang Penyediaan Anggaran Pendidikan dari APBN/APBD
2. Kewajiban penyediaan Dana Alokasi Umum (DAU) minimal 26 persen dari penerimaan dalam negeri neto, dan Dana Bagi Hasil (DBH) sesuai ketentuan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah;
3. Penyediaan alokasi anggaran kesehatan sebesar 5 persen dari APBN sesuai dengan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;
4. Penyediaan dana otonomi khusus sesuai dengan Undang-Undang Otonomi Khusus provinsi Aceh dan Papua masing-masing sebesar 2 persen dari DAU Nasional.

Besaran mandatory dan nondiscretionary spending yang besar tersebut semakin banyak ditambah juga dana pensiun dan dana desa dan ini berakibat pada semakin sempitnya ruang fiskal bagi Pemerintah untuk memenuhi kebutuhan belanja-belanja yang bersifat mendesak pada setiap tahunnya seperti belanja untuk pembangunan infrastruktur dan pemberian bantuan sosial bagi rakyat yang membutuhkan.
Ketika Pemerintah benar-benar memerlukan tambahan belanja yang mendesak maka Pemerintah tidak mempunyai ruang fiskal yang cukup untuk menutup kebutuhan tersebut karena mayoritas dana APBN sudah dkavling untuk mandatory dan nondiscretionary spending.
Ada beberapa langkah rekomendatif yang mungkin dapat dilakukan oleh Pemerintah dalam jangka waktu tertentu untuk menghadapi kondisi ini. Tindakan Pemerintah yang perlu dilakukan ini akan terealisasi jika terbuka peluang untuk mengamandemen peraturan perundangan yang selama ini menjadi landasan dalam mengalokasikan belanja-belanja mengikat tersebut.
Langkah-langkah rekomendatif tersebut adalah sebagai berikut:
1) Melakukan prioritisasi terhadap mandatory dan nondiscretionary spending. Dari beberapa jenis belanja di atas, suatu saat Pemerintah perlu menghapus beberapa jenis mandatory spending yang dianggap tidak prioritas dan tidak terkait langsung dengan tujuan pembangunan nasional.
2) Mengurangi besaran porsi masing-masing belanja mengikat yang dianggap prioritas tersebut. Setelah memilih beberapa belanja prioritas tersebut, Pemerintah harus menghitung ulang besaran dari masing-masing belanja tersebut, hal ini bisa dilihat dari angka penyerapan anggaran yang selama ini tercapai, seperti anggaran pendidikan (20 persen APBN/APBD) berdasarkan LKPP (Laporan Keuangan Pemerintah Pusat) beberapa tahun anggaran hanya mampu menyerap anggaran rata-rata sebesar 90 persen, hal ini berarti Pemerintah seharusnya mempunyai diskresi untuk mengalokasikan sisa anggaran tersebut ke program/kegiatan lainnya (pada tahun anggaran tertentu).
3) Mengusulkan agar besaran mandatory spending diatur secara periodik (berkala) atau secara tahunan tergantung kondisi pada tahun anggaran bersangkutan dan melihat pengalaman penyerapan anggaran pada tahun sebelumnya. Hal ini, dapat dilakukan apabila ada kemauan politik baik dari pihak eksekutif maupun legislatif yaitu membuat peraturan perundang-undangan terkait belanja mengikat yang dirancang dan disahkan secara tahunan (seperti halnya Undang-Undang Nota Keuangan dan APBN) sehingga setiap tahun anggaran dapat dilakukan monitoring dan evaluasi dari efektivitas mandatory spending tersebut.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun