Mohon tunggu...
Yohana Krisna A S
Yohana Krisna A S Mohon Tunggu... Guru - Guru muda yang idealis

Salah satu penulis kumpulan cerpen Color of Heart (2011, Universal Nikko), Malang Dalam Aksara (2017, AnisaAE Publishing). Sarjana Keguruan, sedang mendalami Bahasa Inggris dan Dunia Anak-Anak. *Y Kriesta S*

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Curcol Empat Sekawan

23 November 2018   08:05 Diperbarui: 23 November 2018   08:46 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tentang Adha sang juara karate yang jago Matematika.

Kami empat sekawan menamai diri ADLY alias Adha, Devi, Lucy dan Yohana. Kami dipertemukan di SMP yang sama saat MOS atau masa orientasi sampai saat ini dan dikelas yang sama selama 3 tahun berturut-turut. Awalnya mungkin karena bangku kami berdekatan sehingga perkenalan itu dengan cepat mengakrabkan kita berempat.

Aku suka banget Matematika gak cuma itu sih pokoknya pelajaran berbau menghitung. Buatku keren banget itung-itungan. Persis kehidupan. Harus tepat dalam setiap penghitungan. Kalo gak tepat, ya pasti berantakan. Ada yang harus dibagi dengan orang lain, ada yang harus dikurangi dari setiap kegiatan negatif, juga ada yang ditambah dalam semangat-semangat positif.

Aku jutek, ngeyelan alias keras kepala, karena itu aku jadi sering perang sama Yohana. Hahaha. Aku hoby olahraga dan jago karate. Sampai pernah salah satu temanku bilang aku cewek macho saking terbentuknya otot-ototku karena banyak olahraga dan latihan karate. Asal tau saja aku juara lomba karate tingkat SMP se-Kabupaten Banyuwangi selama tiga tahun berturut-turut.

Dalam persahabatan kami tak ada yang namanya kekurangan. Aku merasakan sebuah kesempurnaan dalam setiap perbedaan kami. Yohana yang cuek tapi gokil, humor-humor segarnya yang kocak dibawakan dengan gayanya yang emang asli gokil membuat perut kram karena banyak tertawa. Devi yang jaim saja bisa terpingkal-pingkal melihat gaya Yohana yang kocak habis. 

Ada juga Lucy yang tenang dalam menghadapi setiap masalah. Kami tak pernah kehabisan penasehat karena Lucy bersedia memuntahkan kata-kata bijak yang bisa menguatkan satu sama lain. Kekompakan kami begitu terasa saat kami banyak ditimpa masalah. Entah masalah sekolah, masalah dengan keluarga masing-masing maupun masalah dengan cowok yang kala itu kami sebut cintanya monyet karena kami masih SMP.

Pernah aku dan Yohana naksir satu cowok yang sama, yaitu kakak kelas satu tingkat diatas kami, namun demi persahabatan kami lebih memilih untuk jomblo saja. Pengalaman lucu menurutku, seleraku dan Yohana sama persis karena sifat kami juga sama. Sama-sama lahir dibulan April dan berzodiak Aries membuat aku dan Yohana merasa saling kenal masing-masing pribadi. Sebenarnya bukan hanya aku dan Yohana yang lahir dibulan April. Ada salah satu sahabat bernama Lucy yang juga lahir dibulan April. 

Tapi sungguh perangainya berbeda dariku dan Yohana. Dia anak yang kalem, meskipun juga keras kepala, tapi setiap dia marah tak akan lama, sejam kemudian sudah baik-baik saja. Mungkin diantara kami berempat hanya Devi yang lahir dibulan yang berbeda. Tapi itulah persahabatan, perbedaan pun akan terasa sangat menyenangkan jika cinta dan rasa saling menjaga melandasi semua itu.

___

Tentang Devi penari yang jago IPS

Aku pendiam, bukan tanpa alasan, tapi aku takut menyakiti hati orang lain dengan ucapan. Kata orang yang baru kenal aku, pasti aku dianggap sombong. Fuuuah. Padahal bukan itu, aku takut memulai sebuah perkenalan. Tapi sejak aku mengenal Yohana yang menyapaku saat aku masuk kelas 7A, aku jadi berani untuk menyapa orang lain. Pembawaan Yohana yang supel, ramah dan baik membuatku ingin seperti dia. Dia juga yang membuatku punya pandangan tentang sebuah arti kehidupan. 

Buatku kehidupan itu seperti sebuah tarian tradisional, lemah gemulai, tapi juga mengandung misteri dan nilai sejarah yang tak boleh dikesampingkan. Karena setiap jengkal kehidupan merupakan langkah-langkah sejarah yang nanti akan kita buka lagi saat kita sukses ataupun gagal.

Sahabat-sahabatku bisa sangat menyenangkan untukku yang kaku dan pendiam ini. Mereka yang selalu mensuportku setiap latihan tari. Terlebih Adha yang selalu mau mengantar ataupun menjemputku latihan disanggar tari yang sebenarnya jauh dari rumahnya. Terkadang jika Adha tak bisa, masih ada Yohana yang juga bisa naik motor. 

Diantara kami berempat mungkin aku yang paling penakut, mulai dari takut gelap, takut hantu dan takut hal-hal lain, namun para sahabatku ini yang selalu membuatku berani setidaknya belajar berani untuk menghadapi setiap permasalahan dan ketakutan-ketakutanku. Mereka bikin aku yakin bahwa aku ini berharga.

Sahabat-sahabatku tak akan menolak jika aku minta ditemani. Saat aku harus menari didepan bapak Gurbenur di Surabaya, mereka datang. Mereka ijin untuk tidak masuk, untung saja guru BP sekolah adalah tante dari Yohana yang biasa dia panggil dengan sebutan bunda. Aku sangat takut dan krisis percaya diri. Tapi mereka memelukku dan bilang, "You're the best. Kamu pasti bisa." Kata-kata yang benar-benar menyuntikan semangat luar biasa buatku.

Pengalaman seru lain bareng mereka adalah saat aku lupa mengerjakan PR Matematika karena aku ada latihan tari sampai malam untuk persiapan lomba tingkat SMP di Surabaya sebagai perwakilan kabupaten kami tercinta. Mereka dengan kompaknya bilang kalau mereka bertiga juga tidak mengerjakan tugas itu padahal aku tau mereka mereka sudah mengerjakannya. 

Kontan kami berempat dihukum untuk membersihkan toilet putri bersama. Saat di toilet aku menangis, asal tau saja aku ini yang paling cengeng, terharu karena pengorbanan para sahabatku. Kemudian Lucy memelukku hangat, dan Yohana dan Adha pun ikut memelukku. Sungguh sebuah persahabatan yang indah.

___

Tentang Lucy model yang jago IPA terutama Biologi

Menurutku, kehidupan itu seperti panggung sandiwara. Harus deperankan secara apik apapun endingnya. Mau happy ending ataupun sad ending, kitalah tokohnya. Setiap konflik itu harus bisa terselesaikan, demi melakoni yang Tuhan gariskan untuk kita.

Aku cerewet, tapi juga pendiam. Nah loh. Intinya aku cerewet saat aku bersama sahabat-sahabatku. Adha yang sering ngaret ke sekolah, biarpun sudah berkali-kali aku ingatkan tetap saja dia malas untuk bangun pagi. Sampai akhirnya Devi memberi ide agar setiap pagi kami menelpon Adha. Tapi dasar tukang karet, alarm yang keras aja kagak denger, apalagi telpon yang cuma bergetar. Yohana cuma geleng-geleng kepala saat kami mencoba usaha itu tiap pagi. Ya, Yohana kadang kelewat cuek, tapi aslinya baik banget. Dia gak pernah nolak dimintain tolong. Selalu ada buat kami kapanpun kami butuh.

Pernah ada kejadian aku pulang malam dari sanggar teater yang juga kelas modeling. Aku selalu kesal jika mengingat bahwa orangtuaku sering keluar kota seperti malam ini. Sementara kakak perempuanku tak akan berani malam-malam keluar karena rumahku lumayan jauh dari sanggar ini. Tiba-tiba Yohana telpon aku dan menanyakan aku dimana. Aku bilang aku disanggar dan tak bisa pulang karena tak ada jemputan. Dia hanya bilang, "Tungguin. Tak jemput." Aku gak percaya dia mau jemput aku. Tapi 20 menit kemudian dia muncul dengan motor ayahnya. Padahal rumahnya jauh banget dari sanggar ini, juga rumahnya beda Kecamatan dengan rumahku. Sungguh sahabat yang baik.

Beda cerita dengan Devi, dia sahabat paling kalem yang aku punya. Wajahnya manis dengan perawakan yang ideal. Aku sempat menawarkan dia jadi model, tapi dia tak mau. Dia kurang jago dandan. Lha wong kalau mau menari saja dia didandani penata riasnya sendiri.

Aku pernah bilang aku iri dengan keenceran otak Adha saat berhitung, juga merdunya suara Yohana saat menyanyi. Ataupun otak Devi yang canggih dan bisa tepat saat pelajaran hapalan dan penalaran. Tapi mereka bilang, kita semua punya keistimewaan sendiri. Mereka mengingatkan ku bahwa mereka yang membuatku sempurna. Mereka yang mensuport segala kegiatanku, dan mereka yang mengingatkanku saat aku melakukan hal yang salah.

Kami punya warna sendiri dengan dunia kami. Itulah yang membuat kami sangat lengkap. Contohnya saat mengerjakan tugas disekolah, saat suntuk dan butuh hiburan, ada Yohana dengan suara merdunya yang menemani kami. Tapi jangan salah, kadang kami juga sebal kalau dia menyanyi. Pasalnya dia tidak tau tempat. Dimanapun dan kapanpun pasti nyanyi terus. 

Ada juga Devi yang bisa diandalkan saat tugas IPS menumpuk, buatku IPS adalah pelajaran paling membosankan yang pernah ada. Daripada mengerjakan IPS aku lebih baik mengerjakan setumpuk penelitian Biologi. Beda dengan Adha yang selalu canggih saat berhitung. Inilah warna yang kami miliki. Saling melengkapi dan menjaga.

___

Tentang Yohana yang maniak musik dan jago Bahasa.

Aku jutek, keras kepala dan maniak musik. Kemanapun aku pergi harus ada I-pod disaku atau aku bakal rewel. Karena menurutku kehidupan itu seperti musik. Berwarna. Ada melow, rock, pop, bahkan jazz. Bukankah dalam kehidupan ada bahagia, sedih tangis dan tawa? Masalah, jatuh cinta, bahkan patah hati. Ya, memang setiap orang punya pandangan sendiri tentang kehidupan. Begitupun aku.

Aku punya 3 sahabat yang akan ada buatku setiap saat aku butuh ataupun aku ingin berbagi entah bahagia, duka dan semua rasa yang nge-mix mirip irama musik hip hop. Lucy yang cerewet, pelit tapi baik, selalu meluk aku saat aku nangis, tapi aku jarang nangis loh. Adha yang selalu suport aku dan selalu jadi penonton setiaku saat aku manggung baik solo ataupun bersama band sekolah dan bisa dipastikan kalau dia ada di bangku penonton deret paling depan. Sedangkan Devi yang setia menemaiku kemanapun aku pergi meskipun aku sebenarnya tak butuh ditemani, dia juga antusias mengapresiasi karya-karyaku baik puisi, cerpen bahkan artikel-artikel buatanku.

Kami sangat berbeda. Ya, cara pandang kami, cara hidup kami, dan juga sifat-sifat kami. Tapi buatku tak masalah. Karena persahabatan itu seperti satu set alat musik, sebuah musik yang indah tak akan tercipta jika gitar hanya berdawai satu ataupun enam dawainya bernada sama. Ataupun sebuah drum tanpa simbal ataupun tanpa bass. Jadi perbedaan itu mengikat kami untuk saling melengkapi.

Terkadang aku iri karena aku tak sepintar Adha saat berhitung, atau aku tak secantik Lucy, dan bahkan aku terkadang iri karena aku tak bisa seluwes Devi. Aku juga iri karena prestasiku tak sebanyak Adha yang bahkan sudah jadi juara karate Nasional, Devi yang sudah pernah menari di Australia untuk kedutaan Indonesia yang ada di negara tetangga itu, dan bahkan Lucy yang sudah mengantongi banyak piala dan piagam dibidang modeling dan teater. 

Namun mereka bilang, aku ini warna tersendiri dalam hidup mereka. Aku rame, dan juga penghibur yang baik. Mereka bilang aku ini berarti karena tanpaku gak akan ada irama musik yang seru. Aku sering tersenyum saat mengingat itu. Aku merasa benar-benar berarti.

Ada Lucy yang cerewet bikin rame suasana. Adha yang selalu bikin rusuh dan bikin aku sebal, juga Devi yang selalu jadi penengah saat diatara kami terlibat masalah. Kami sudah seperti saudara. Contohnya, pernah Adha kecelakaan dan kami bertiga, aku, Lucy dan, Devi punya firasat sama. Tiba-tiba gelang persahabatan kami putus bersamaan. Untung dia hanya lecet-lecet. Benar-benar sebuah persahabatan yang indah saat itu. Pernah juga aku dan Adha naksir cowok yang sama yaitu kakak kelas kami. Demi persahabatan, kami sama-sama mengalah. Mending jomblo daripada satu sama lain harus tersakiti lagipula kakak kelas kami itu juga suka sama aku dan Adha. Gokil. Hahaha.

___

Tentang sebuah kehilangan....

Siluet pagi itu menemaniku duduk diteras rumah yang menghadap ke timur tepat dimana siluet sang surya sedang menampakan cahya hangatnya. Merasakan sebuah kesepian yang tiada berarti. Aku masih mengharap sesuatu. Sebuah kekuatan untuk menerima kenyataan pahit dalam hidupku.

Disini aku merindukan sahabat-sahabatku. Mereka akan datang hari ini kata ibuku. Aku mencuri dengar dari pembicaraan telepon barusan. Aku ingin memeluk para sahabatku lagi. Aku sangat merindukan mereka. Pagi ini rumah ramai, banyak saudara datang berkunjung. Aku tersenyum getir. Menikmati setiap bulir air mata yang menyesakanku.

Tak lama aku mendengar salam dari suara yang sangat kukenal. Para sahabatku datang, aku menyongsong mereka dengan senyum, berharap mereka juga merindukanku. Lucy, Adha juga Devi datang membawakanku bunga teratai. Bunga kegemaranku. Aku melebarkan senyumku, mereka pernah bertanya kenapa aku suka sekali bunga teratai. "Karena meskipun bunga teratai hidup dilumpur, dia tetap menjadi bunga paling indah, tidak ternoda. Aku ingin begitu." Jawabku saat itu.

Seminggu yang lalu aku sempat menelpon mereka bahwa aku akan pulang. Dan sekarang mereka datang untuk membasuh rinduku selama kurang lebih 4 bulan berada di Kota Malang menuntut ilmu disalah satu SMK swasta favorit.

"Dia sakit apa, buk?" kata Lucy pada ibuku.

"Kanker otak." Jawab ibu getir, aku semakin menunduk mendekati ibu.

"Berapa lama?" sahut Adha. Kulihat mendung diwajahnya yg manis.

"Sejak dua tahun yang lalu." Jawab ibu singkat. Air mata itu turun lagi, membuatku miris melihatnya.

"Kami masih ingat sumringahnya, buk. Bagaimana histerisnya dia saat diterima di sekolah itu. Kami ingat bagaimana semangatnya saat dia memenangkan festival band di Surabaya enam bulan yang lalu . Kami pun masih sangat ingat senyum dan ledekannya saat dia menjadi salah satu dari sepuluh siswa berprestasi karena nilai UN nya sangat tinggi. Sayangnya kami tidak tau bahwa dia sakit. Dasar nakal." Kata Adha menunduk. Aku semakin menangis. Mereka mengingatku.

Kulihat ibu semakin sesenggukan disebelah Devi yang dari tadi tak bersuara. Hujan itu turun lagi membuatku semakin sakit.

"Dia tumpuan ibu setelah ayahnya pergi entah kemana. Dia juga kakak yang baik untuk Tika yang masih kecil." Ibu terlihat makin murung. Aku ingin memeluk ibu meski tak bisa.

"Kami tak menyangka dia bisa secepat ini pergi. Dia baru tujuh belas tahun sebulan yang lalu." Kata Adha menyeka air matanya.

"Kami ke pusaranya dulu, buk. Kami ingin memberikan bunga ini untuknya." Kali ini Devi baru bicara. Ibu mengangguk lemah. Kulihat hujan deras di matanya. Aku ingin memeluknya. Tapi aku tak bisa. Ya Tuhan, kenapa semua harus berakhir begini? Ratapku.

Di pusara itu bertulisakan nama 'Yohana Kriesta', mereka menangis lagi. Tangis kehilangan yang membuatku makin sakit.

"Aku akan bahagia jika kalian tersenyum, aku hanya butuh doa bukan tangisan." Kubisikan kata-kata itu berharap Adha dengar dan menguatkan yang lain, karena kutau bahwa dia lebih dewasa.

"Dia sudah bahagia. Relakan. Toh dia masih hidup dihati kita masing-masing. Jangan bebani dia dengan tangisan kita. Kita harus mengirim doa untuknya." Kata Adha kemudian. Dan aku tersenyum ikhlas untuk yang pertama kalinya. Terbang meninggalkan mereka bersama para malaikat-malaikat kecil. 

___

Malang, 21 Juni 2011

*Cerpen lama yang mengendap di hardisk
^^

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun