"Kami masih ingat sumringahnya, buk. Bagaimana histerisnya dia saat diterima di sekolah itu. Kami ingat bagaimana semangatnya saat dia memenangkan festival band di Surabaya enam bulan yang lalu . Kami pun masih sangat ingat senyum dan ledekannya saat dia menjadi salah satu dari sepuluh siswa berprestasi karena nilai UN nya sangat tinggi. Sayangnya kami tidak tau bahwa dia sakit. Dasar nakal." Kata Adha menunduk. Aku semakin menangis. Mereka mengingatku.
Kulihat ibu semakin sesenggukan disebelah Devi yang dari tadi tak bersuara. Hujan itu turun lagi membuatku semakin sakit.
"Dia tumpuan ibu setelah ayahnya pergi entah kemana. Dia juga kakak yang baik untuk Tika yang masih kecil." Ibu terlihat makin murung. Aku ingin memeluk ibu meski tak bisa.
"Kami tak menyangka dia bisa secepat ini pergi. Dia baru tujuh belas tahun sebulan yang lalu." Kata Adha menyeka air matanya.
"Kami ke pusaranya dulu, buk. Kami ingin memberikan bunga ini untuknya." Kali ini Devi baru bicara. Ibu mengangguk lemah. Kulihat hujan deras di matanya. Aku ingin memeluknya. Tapi aku tak bisa. Ya Tuhan, kenapa semua harus berakhir begini? Ratapku.
Di pusara itu bertulisakan nama 'Yohana Kriesta', mereka menangis lagi. Tangis kehilangan yang membuatku makin sakit.
"Aku akan bahagia jika kalian tersenyum, aku hanya butuh doa bukan tangisan." Kubisikan kata-kata itu berharap Adha dengar dan menguatkan yang lain, karena kutau bahwa dia lebih dewasa.
"Dia sudah bahagia. Relakan. Toh dia masih hidup dihati kita masing-masing. Jangan bebani dia dengan tangisan kita. Kita harus mengirim doa untuknya." Kata Adha kemudian. Dan aku tersenyum ikhlas untuk yang pertama kalinya. Terbang meninggalkan mereka bersama para malaikat-malaikat kecil.Â
___
Malang, 21 Juni 2011
*Cerpen lama yang mengendap di hardisk
^^