Ada Lucy yang cerewet bikin rame suasana. Adha yang selalu bikin rusuh dan bikin aku sebal, juga Devi yang selalu jadi penengah saat diatara kami terlibat masalah. Kami sudah seperti saudara. Contohnya, pernah Adha kecelakaan dan kami bertiga, aku, Lucy dan, Devi punya firasat sama. Tiba-tiba gelang persahabatan kami putus bersamaan. Untung dia hanya lecet-lecet. Benar-benar sebuah persahabatan yang indah saat itu. Pernah juga aku dan Adha naksir cowok yang sama yaitu kakak kelas kami. Demi persahabatan, kami sama-sama mengalah. Mending jomblo daripada satu sama lain harus tersakiti lagipula kakak kelas kami itu juga suka sama aku dan Adha. Gokil. Hahaha.
___
Tentang sebuah kehilangan....
Siluet pagi itu menemaniku duduk diteras rumah yang menghadap ke timur tepat dimana siluet sang surya sedang menampakan cahya hangatnya. Merasakan sebuah kesepian yang tiada berarti. Aku masih mengharap sesuatu. Sebuah kekuatan untuk menerima kenyataan pahit dalam hidupku.
Disini aku merindukan sahabat-sahabatku. Mereka akan datang hari ini kata ibuku. Aku mencuri dengar dari pembicaraan telepon barusan. Aku ingin memeluk para sahabatku lagi. Aku sangat merindukan mereka. Pagi ini rumah ramai, banyak saudara datang berkunjung. Aku tersenyum getir. Menikmati setiap bulir air mata yang menyesakanku.
Tak lama aku mendengar salam dari suara yang sangat kukenal. Para sahabatku datang, aku menyongsong mereka dengan senyum, berharap mereka juga merindukanku. Lucy, Adha juga Devi datang membawakanku bunga teratai. Bunga kegemaranku. Aku melebarkan senyumku, mereka pernah bertanya kenapa aku suka sekali bunga teratai. "Karena meskipun bunga teratai hidup dilumpur, dia tetap menjadi bunga paling indah, tidak ternoda. Aku ingin begitu." Jawabku saat itu.
Seminggu yang lalu aku sempat menelpon mereka bahwa aku akan pulang. Dan sekarang mereka datang untuk membasuh rinduku selama kurang lebih 4 bulan berada di Kota Malang menuntut ilmu disalah satu SMK swasta favorit.
"Dia sakit apa, buk?" kata Lucy pada ibuku.
"Kanker otak." Jawab ibu getir, aku semakin menunduk mendekati ibu.
"Berapa lama?" sahut Adha. Kulihat mendung diwajahnya yg manis.
"Sejak dua tahun yang lalu." Jawab ibu singkat. Air mata itu turun lagi, membuatku miris melihatnya.