Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kisah Dewan Sekolah Hutan dan Absurditas Standar Pendidikan Modern

11 Januari 2022   07:02 Diperbarui: 11 Januari 2022   07:04 2315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hewan-hewan itu akhirnya mempertanyakan "pendidikan" yang mereka terima. Mereka lebih suka fokus pada kekuatan unik mereka (vectorstock)

Pengumuman, mulai besok Sekolah Hutan akan dibuka dan menerima pendaftaran murid baru.

Poster pengumuman tersebut tertempel di pohon-pohon besar di sekeliling hutan, dilengkapi dengan gambar pondok kayu yang cukup megah. Di depan pondok kayu, terdapat area bermain yang dilengkapi beberapa jenis sarana permainan seperti ayunan, jungkat-jungkit dan perosotan.

Keesokan harinya, pondok kayu yang menjadi tempat Sekolah Hutan sudah ramai didatangi para induk hewan yang menghuni hutan tersebut beserta anak-anak mereka. Sementara induk-induk itu sedang antre mendaftar, anak-anak mereka dengan riang gembira bermain di area permainan.

"Bapak-bapak dan ibu-ibu hewan yang kami hormati, silahkan masuk ke pondok untuk menerima penjelasan tentang Sekolah Hutan," kata Abi si burung hantu yang menjadi kepala Sekolah Hutan.

Setelah para induk hewan masuk ke pondok, Abi si burung hantu kemudian menjelaskan model pendidikan Sekolah Hutan.

"Bapak dan Ibu hewan yang kami hormati, terima kasih sudah datang dan mempercayakan pendidikan anak-anak kalian kepada Sekolah Hutan. Sebelum anak-anak mulai belajar, perlu kami sampaikan terlebih dahulu model pendidikan yang akan kami gunakan.

Sekolah Hutan ini adalah satu-satunya sekolah di hutan yang menggunakan model pendidikan modern. Di sekolah ini, anak-anak nanti akan kami ajari berbagai macam keterampilan sebagaimana yang sudah dikuasai oleh setiap jenis hewan di hutan. Kami berharap, setiap anak hewan yang sekolah di sini akan mahir berenang, berlari, terbang, dan memanjat."

Begitu selesai bicara, para induk hewan langsung berceloteh ramai dan saling mengacungkan tangan mereka.

Dok, dok, dok. Ketukan palu dari Abi si burung hantu langsung menenangkan suasana pertemuan yang sempat memanas.

"Harap tenang, satu per satu kalau ingin bertanya. Ya, silahkan ibu monyet dahulu," kata Abi sambil menunjuk ibu monyet yang dari tadi tidak mau menurunkan tangannya yang mengacung.

"Pak burung hantu, tujuan saya mengirim anak saya ke sini untuk belajar cara memanjat dan meloncat dari pohon dengan baik dan cepat. Saya kira tidak perlu ada pelajaran berenang, berlari, bahkan terbang. Buat apa? Anak saya kan tidak bisa terbang. Lebih baik semua hewan diajari cara memanjat pohon saja. Kita kan tinggal di hutan, bukan di lautan atau udara bebas."

"Wah, tidak bisa begitu ibu monyet," sanggah pak elang. "Saya ingin anak saya bisa belajar terbang yang tinggi, bukan belajar memanjat pohon. Lagipula, buat apa memanjat pohon jika sudah bisa terbang. Lebih baik semua hewan diajari cara terbang."

"Tidak, tidak bisa begitu juga, sergah ibu kanguru. Saya ingin anak saya hanya diajari melompat saja. Tidak usah memanjat pohon, apalagi terbang."

Dum! Dum!

Induk gajah menghentakkan kakinya yang besar sampai seluruh hewan yang memenuhi pondok kayu itu terlonjak kaget.

"Buat apa mahir memanjat, melompat atau terbang, kalau tidak punya pemikiran yang bijaksana dan ingatan yang kuat seperti saya? Lebih baik anak-anak kita diajari ilmu dan kebijaksanaan seperti saya."

"Tidak bisa," protes induk monyet. "Pokoknya anak saya harus pandai memanjat pohon."

"Anak saya harus pandai terbang yang tinggi," kata induk elang dengan suara meninggi.

Dok, dok, dok, sekali lagi terdengar ketukan palu dari burung hantu.

"Tenang, tenang bapak/ibu hewan sekalian. Sekali lagi, seperti yang saya sampaikan di awal tadi, semua murid Sekolah Hutan akan mendapat semua pelajaran keterampilan, tidak terkecuali!"

"Ya sudah, kalau begitu saya tidak jadi menyekolahkan anak saya di sini," kata induk monyet lalu berjalan ke luar.

"Betul, lebih baik saya mengajari sendiri anak saya terbang," kata induk elang lalu berjalan mengikuti induk monyet ke luar pondok.

Maka, satu per satu para induk hewan itu pergi ke luar pondok dan tidak jadi mendaftarkan anak mereka di Sekolah Hutan. 

Jangan Menilai Anak Dari Satu Jenis Keterampilan Saja

Cerita di atas merupakan adaptasi dari sebuah esai terkenal berjudul "An Education Allegory" yang diterbitkan dalam Journal of Education pada tahun 1898. Amos Dolbear, seorang fisikawan terkenal, menulis karya tersebut dengan nama samaran Aesop Jr.

Esai Dolbear membahas absurditas pendidikan modern dan berfokus pada ketidakmungkinan standar pengujian tunggal untuk semua anak. Dalam karya tersebut, ia menggambarkan sekolah hewan di mana setiap hewan diharapkan mahir berenang, berlari, terbang, dan memanjat.

Tapi, hewan-hewan itu akhirnya mempertanyakan "pendidikan" yang mereka terima. Mereka lebih suka fokus pada kekuatan unik mereka. Mereka melepaskan keterampilan mereka yang lain, menolak pelatihan sekolah. Dengan demikian, masing-masing hewan unggul dalam apa yang mereka kuasai.

Dari esai inilah kemudian muncul sebuah kutipan yang kemudian disematkan pada nama ilmuwan terkenal Albert Einstein:

"Semua orang jenius. Tetapi jika Anda menilai seekor ikan dari kemampuannya memanjat pohon, seumur hidupnya ia akan percaya bahwa ia bodoh."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun