Taliban tak pelak menjadi fokus utama perhatian dunia saat ini. Banyak pihak mengkhawatirkan masa depan Afghanistan di bawah pemerintahan Taliban yang dikenal puritan dan sangat ketat menerapkan syariat Islam. Salah satu yang utama adalah tentang hak kaum wanita.
Taliban dan Kesetaraan Hak Perempuan Afghanistan
Setelah sekian lama hanya dikenal melalui suara di ujung telepon, Zabihullah Mujahid, juru bicara Taliban akhirnya muncul di depan kamera. Selain membicarakan proses transisi dan masa depan Afghanistan, Mujahid juga berbicara tentang hak-hak perempuan, dan berjanji bahwa kaum perempuan Afghanistan akan dihormati dalam kerangka hukum Islam.
Tagar #womensright menjadi trending topic di media sosial seiring kemenangan kelompok Taliban mengambil alih pemerintahan Afghanistan secara hampir tidak berdarah. Proses transisi kekuasaan di Afghanistan sendiri berjalan lebih mulus dibandingkan proses transisi kekuasaan di Amerika Serikat, ketika pendukung Trump yang tidak terima dengan kemenangan Joe Biden menyerbu gedung Capitol di Washington.
Kalau kita lihat ke belakang, isu kesetaraan hak perempuan tak hanya muncul dan dikaitkan dengan kemenangan Taliban. Sejak lama, isu hak-hak perempuan dalam Islam telah menjadi area perdebatan sengit baik di dunia Muslim maupun di Barat. Golongan Islamofobia bahkan menjadikan isu hak perempuan ini sebagai senjata utama untuk menyerang Islam.
Isu ini mencuat kembali dan digaungkan lebih keras seiring kemenangan Taliban di Afghanistan. Hak-hak perempuan, kata mereka, dikutuk di bawah Taliban. Hampir bersamaan, golongan Islamofobia memperkirakan kembalinya apa yang mereka sebut sebagai tradisi pernikahan paksa, pemerkosaan, dan perbudakan seksual gadis-gadis di bawah umur.
Proses demonisasi terhadap kelompok Taliban ini terjadi sejak tentara Amerika Serikat menduduki Afghanistan dan menempatkan pemerintahan bonekanya. Taliban secara rutin digambarkan sebagai kelompok orang-orang Islam primitif, yang menerapkan hukum Islam secara tidak seimbang terhadap kaum perempuan.
Kesetaraan Hak Perempuan dan Laki-laki dalam Hukum Islam
Bagaimana sebenarnya hak perempuan dalam Islam?
Baik laki-laki maupun perempuan dalam Islam memiliki hak yang setara. Setara dalam hal ini bukan berarti sama. Sebagai acuan hukum primer, hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan muslim diatur di dalam Al-Quran dan Hadis. Sedangkan acuan hukum sekundernya adalah berdasarkan Ijtima ulama dan Qiyas.
Allah berfirman dalam Al-Quran,
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu." (QS Al-Hujuraat, 49: 13).Â
Secara implisit, ayat tersebut menjelaskan kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Lebih mendalam lagi, peran gender dalam Islam secara bersamaan diwarnai oleh dua ajaran Al-Qur'an:Â
- Kesetaraan hak spiritual antara perempuan dan laki-laki;
- Gagasan bahwa perempuan dimaksudkan untuk mencontohkan feminitas, dan laki-laki mencontohkan maskulinitas.
Kesetaraan hak spiritual antara laki-laki dan perempuan dirinci di dalam surah Al-Ahzab ayat 35-36:
"Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, sesungguhnya Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar". (QS Al-Ahzab, 33: 35-36).
Penekanan Islam pada polaritas feminin/maskulin (dan karena itu saling melengkapi) menghasilkan pemisahan fungsi sosial. Secara umum, lingkungan kerja wanita adalah rumah di mana dia adalah sosok yang dominan -- dan lingkungan yang berhubungan dengan pria adalah dunia luar.Perempuan sangat dihormati dalam banyak aspek kehidupan rumah tangga karena pengetahuan dan keterampilan alami mereka sebagai pengelola rumah tangga, pengasuh anak-anak mereka. Â
Meski begitu, pemisahan peran gender ini dalam praktiknya tidak sekaku yang dilihat golongan Islamofobia. Dalam hal pendidikan misalnya, Islam menganjurkan hak-hak perempuan dan laki-laki secara setara untuk mencari ilmu. Al-Quran memerintahkan semua Muslim untuk mengerahkan upaya dalam mengejar pengetahuan, terlepas dari jenis kelamin biologis mereka. Ajaran Islam mendorong umatnya untuk terus menerus membaca, berpikir, merenungkan dan belajar tanda-tanda dari Allah di alam semesta.
Tak hanya itu, Nabi Muhammad Saw secara khusus juga menyatakan bahwa mencari ilmu adalah kewajiban agama yang mengikat setiap pria dan wanita Muslim. Seperti rekan prianya, setiap wanita memiliki kewajiban moral dan agama untuk menuntut ilmu, mengembangkan kecerdasannya, memperluas wawasannya, mengembangkan bakatnya dan kemudian memanfaatkan potensinya untuk kepentingan jiwanya dan masyarakatnya.Â
Peran Perempuan dalam Peradaban Islam
Ada banyak contoh -- baik di awal sejarah Islam maupun di dunia kontemporer -- perempuan Muslim memainkan peran penting dalam kehidupan publik, termasuk menjadi sultan, ratu, kepala negara, pengusaha wanita kaya dan berbagai posisi penting lainnya.
Dari masa awal kekhalifahan Islam misalnya, ada sosok bernama Nafisa  binti Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Dia tak lain adalah cicit dari Nabi Muhammad Saw. Dididik dan dibesarkan secara ketat dalam syariah Islam, Nafisa menjelma menjadi seorang ulama perempuan. Dua orang muridnya yang terkenal adalah Abu Abdullah Muhammad Idris As-Syafii atau Imam Syafii dan Ahmad bin Hanbal atau Imam Hambali.
Perlu pula saya sebutkan di sini salah seorang ulama perempuan terkenal lainnya, yakni Fatima Al-Fudailiyah, yang lebih dikenal sebagai Syekh Al-Fudailiyah. Perempuan muslimah ini menguasai seni kaligrafi dengan sempurna dan unggul dalam berbagai ilmu keislaman dengan minat khusus pada hadis.
Fatima Al-Fudailiyah menjadi sumber rujukan ilmu hadis dari para ulama pria di masanya. Setiap siswa yang menghadiri kuliahnya dan lulus ujian akan menerima sertifikat kelulusan darinya. Di antara murid-muridnya yang berprestasi adalah Syekh Omar al-Hanafi dan Syekh Muhammad Salih. Menjelang akhir hayatnya, Al-Fudailiyah menetap di Mekah, di mana ia mendirikan perpustakaan umum untuk umat Islam.
Islam Sangat Menghargai Hak Perempuan
Seperti yang dapat kita lihat, sepanjang sejarah Islam, peran seorang perempuan tidak terbatas pada pekerjaan rumah tangga dan merawat keluarganya. Di antara para penyampai pesan kenabian pada abad-abad awal, kita menemukan banyak nama perempuan. Pada abad pertengahan, ada banyak guru madrasah perempuan dan ulama perempuan. Bahkan ulama Islam terkemuka tidak malu menyebut perempuan ini sebagai guru mereka.
Penting pula untuk dicatat, Allah sangat menghargai perempuan. Di dalam Al-Quran, Allah secara khusus mempersembahkan satu surat bernama An-Nisa (perempuan), dan tidak ada surat bernama Ar-Rijal (Laki-laki). Rasulullah Saw juga memerintahkan kita semua untuk menghormati ibu, tiga kali berturut-turut sebelum menghormati ayah.
Kembali ke isu hak wanita Afghanistan setelah Taliban berkuasa, kekhawatiran yang didengungkan golongan Islamofobia sama sekali tidak mendasar dan belum terbukti kenyataannya. Memang, pernyataan para pemimpin Taliban yang berjanji akan menjamin perdamaian, hak-hak perempuan dan pendidikan warga Afghanistan terdengar sangat menyegarkan. Sekarang, di tengah sorotan dunia, Taliban harus menempatkan kata-kata mereka ke dalam tindakan dan menunjukkan kepada dunia khususnya Amerika Serikat, bagaimana hal itu seharusnya dilakukan sejak dua dekade terakhir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H