Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Benarkah Kompasiana Sudah Tidak Menarik Lagi untuk Dibaca?

25 Agustus 2021   07:12 Diperbarui: 25 Agustus 2021   07:26 934
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jika tidak mau introspeksi, blog bersama ini perlahan ditinggalkan tak hanya penulisnya, tapi juga pembacanya (ilustrasi diolah pribadi)

Semakin lama, Kompasiana semakin membosankan dan tidak lagi menarik untuk dibaca. Meski pahit, saya mengatakan ini sejujurnya. 

Turunnya Peringkat Kompasiana di Alexa

Anggapan pribadi ini bukan tanpa dasar. Indikator pertama yang saya gunakan sederhana saja, data dari Alexa. Karena saya tidak bisa mengintip dapur Google Analytic, maka saya gunakan fitur gratis dari Alexa untuk mencari tahu.

Mari kita lihat beberapa data dari Alexa berikut ini:

  • Berdasarkan peringkat global, Kompasiana berada di urutan 1.913, melorot 596 tingkat dari urutan 1.329 pada 90 hari sebelumnya.

  • Berdasarkan peringkat situs di Indonesia, Kompasiana berada di ranking 70. Tidak masuk dalam 50 situs teratas versi Alexa yang bisa dilihat di halaman depan pencarian situs top (top sites by country).

  • Berdasarkan keterlibatan pengunjung (user engangement), tingkat keterbacaan harian (daily pageviews) pengunjung hanya 1,54. Angka ini turun 6,67 persen dibandingkan 90 hari sebelumnya. Sedangkan waktu yang dihabiskan pengunjung hanya rata-rata hanya 3 menit 13 detik, turun 7 persen dibandingkan 90 hari sebelumnya.

  • Berdasarkan Bounce Rate, Kompasiana mendapat skor 70,7%, masih di atas rata-rata bounce rate kompetitor yang berada di kisaran angka 60%. Bounce rate adalah persentase jumlah pengguna yang mengunjungi website dan memutuskan untuk pergi tanpa membuka halaman kedua. Semakin tinggi nilai bounce rate, semakin tidak sehat situs tersebut.

Dengan nilai bounce rate di atas 70 persen, itu artinya hampir tiga perempat pengunjung Kompasiana hanya sekedar mengunjungi satu halaman artikel tertentu, tanpa ada niat untuk membuka halaman-halaman lainnya. 

Sepi Pembaca dan Sepi Keterlibatan Penulis

Indikator kedua adalah data keterbacaan menurut mesin hitung pembaca Kompasiana. Dulu, seburuk apa pun artikelnya bisa mendapatkan rata-rata 100 pembaca. Sekarang, artikel yang serius paling banter hanya mendapat kurang dari 50 pembaca. Untuk mencapai angka 100 pembaca rasanya sulit setengah mati.

Indikator ketiga adalah keterlibatan penulis. Baik dalam hal penerbitan artikel maupun keterlibatan pemberian rating dan komentar, banyak penulis-penulis senior hilang dari peredaran. 

Entah karena alasan jenuh, atau mungkin sibuk dengan aktivitas lain yang lebih penting. Namun, sependek pengamatan dan penelusuran saya, banyak penulis senior berhenti menulis di Kompasiana karena jenuh dan kecewa dengan kondisi Kompasiana saat ini.

Terlalu Menuruti Tren, Lupa dengan Kualitas Artikel

Alasan utama mereka adalah visi Kompasiana yang mulai berubah. Memang, tagline Beyond Blogging masih tersematkan dan menjadi visi utama Kompasiana. Meski begitu, inti dari tagline itulah yang kini berubah. Tanpa bermaksud mengecilkan nilai artikel dan jerih payah penulisnya, Kompasiana sekarang berubah menjadi portal tidak resmi artikel-artikel spoiler dan tips-tips sederhana.

Seperti yang pernah saya tulis sebelumnya, sebagai entitas bisnis Kompasiana hanya menuruti permintaan pasar. Kebetulan, saat ini pasar menghendaki informasi-informasi spoiler dunia hiburan anak muda. 

Itu sebabnya, saya tidak pernah dan tidak akan pernah menyalahkan penulis artikel-artikel jenis ini. Seperti halnya Kompasiana, para penulis artikel spoiler ini hanya membaca dan menuruti permintaan pasar.

Saya menulis artikel kritikan yang keras nan jujur ini lebih karena kecintaan saya kepada Kompasiana. Bagaimanapun juga, Kompasiana punya andil dan jasa yang besar terhadap perkembangan karir dan personal branding saya sebagai penulis konten. Di luar itu dan yang lebih penting lagi, dari dan di Kompasiana-lah saya melatih keterampilan menulis.

Apakah ada solusi agar Kompasiana bisa menarik lagi untuk dibaca? 

Saran untuk Pengelola Kompasiana

Tentu saja. Tidak ada masalah tanpa solusi. Hanya saja, solusi ini tergantung dari kemauan pengelola Kompasiana sendiri. Apakah mereka mau introspeksi dan memperbaiki kebijakan serta arah pandang mereka, atau sudah merasa nyaman dengan kondisi sekarang.

Solusi pertama adalah mengondisikan, atau memadukan hukum pasar dengan karakter Kompasiana. Apa yang dulu dikenal masyarakat dari Kompasiana itulah yang harus diletakkan kembali.

Mengejar tren agar artikel bisa diklik dan dibaca sebanyak-banyaknya itu wajar dan sudah seharusnya dilakukan media online. Namun, menjaga kualitas artikel dan karakter media, ini juga penting.

Jangan hanya karena sekedar banyak diklik, suatu artikel memperoleh privilige masuk di kamar Terpopuler. Setidaknya, admin Kompasiana bisa memastikan kualitas artikel tersebut, apakah bisa mengundang pembaca untuk tetap membaca sampai akhir.

Bicara kualitas, ini sangat subyektif.  Menilai satu artikel berkualitas baik dan lainnya buruk tidak bisa dilakukan serta merta oleh satu orang saja. Itu sebabnya seorang kurator konten (content curator) menjadi sangat penting di era membanjirnya arus informasi dan berita. 

Di tengah ratusan artikel yang ditayangkan setiap harinya, pengunjung Kompasiana tentu ingin bisa menemukan artikel yang sesuai dengan selera mereka secara cepat dan efektif.

Prinsip dasar dari kurator konten adalah terutama tidak memihak, tidak terafiliasi, dan otentik dalam penilaian atau rekomendasinya. Kurator konten harus memiliki wawasan luas dan menjaga independensi atau memiliki sikap netral agar penilaiannya terhadap suatu konten tidak dipengaruhi suatu apa pun. Misalnya favoritisme penulis.

Jujur saja, belakangan ini ada anggapan admin Kompasiana punya penulis favorit masing-masing. Ada kecenderungan jatah Artikel Utama seolah menjadi hak milik jenis artikel tertentu dan penulis-penulis tertentu pula. No offense, inilah perasaan sejujurnya dari saya.

Hapuskan Kebijakan Karantina Artikel

Solusi kedua adalah berlaku adil. Sejak beberapa bulan terakhir, Kompasiana memberlakukan kebijakan karantina artikel. Maksudnya, artikel yang menurut Kompasiana rawan, ditahan dulu untuk memastikan tidak ada efek negatif terhadap interaksi di Kompasiana. Entah apa maksudnya, saya sendiri benar-benar tidak mengerti.

Bayangkan, artikel tentang Peran Mural dan Grafiti Dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia pernah ditahan dulu sebelum dibebaskan. Artikel tentang Papan Wajah Suporter ditahan kurang lebih 2 jam sebelum ditayangkan. Padahal, menurut saya tidak ada satu pun kata dan frasa dalam dua artikel tersebut yang bisa menimbulkan efek negatif terhadap interaksi di Kompasiana.

Lebih lucu lagi, artikel berjudul Juliari Batubara dan Sindrom Paling Menderita, ditahan berjam-jam sebelum akhirnya ditayangkan pada tengah malam! Padahal saya menayangkannya di jam-jam utama, di waktu yang menurut saya sudah tepat agar artikel itu bisa dibaca banyak orang.

Kebijakan karantina inilah yang akhirnya membuat beberapa Kompasianer senior merasa tidak nyaman sehingga  mereka pun mulai malas menulis di Kompasiana. Ujungnya, Kompasiana kehilangan sumber konten yang bisa jadi berkualitas dan bisa mengundang banyak pembaca.

Kebijakan ini juga menjadi paradoks tersendiri bagi Kompasiana. Bukankah di setiap akhir tulisan sudah ada disclaimer bahwa Kompasiana tidak bertanggung jawab terhadap isi artikel? Kalau sudah melepas tanggung jawab, mengapa masih ada karantina?

Bukan tidak mungkin, jika Kompasiana tidak mau introspeksi, blog bersama ini perlahan ditinggalkan tak hanya penulisnya, tapi juga pembacanya. Sangat disayangkan karena Kompasiana sudah melahirkan banyak penulis-penulis berbakat yang mewarnai dunia literasi Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun