Di mata hukum, setiap orang harus menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah sampai hukum membuktikan kesalahannya. Setiap terdakwa punya hak untuk membela, dan apabila terbukti bersalah juga punya hak untuk meminta keringanan hukuman.
Namun, alangkah naifnya apabila dalam pembelaan tersebut, para koruptor selalu memakai keluarganya sebagai tameng. Apalagi menyebut diri sebagai pihak yang paling menderita.
Tidakkah para koruptor itu ingat keluarga mereka saat mereka melakukan korupsi? Tidakkah para koruptor itu ingat pada rakyat yang menderita akibat dana yang semestinya untuk mereka malah digunakan untuk kepentingan pribadi?
Seandainya, sebelum mereka tergoda setan untuk melakukan korupsi, mereka bisa mengingat keluarga, mengingat apa dampak dari hukuman sosial yang diterima keluarga mereka, tentu para koruptor ini akan berpikir dua kali sebelum korupsi.
Tapi, namanya juga manusia yang tak luput dari khilaf, salah dan selalu digoda setan, kita hanya ingat keluarga tatkala diri kita mengalami kesusahan. Kita hanya ingat Tuhan tatkala hukuman itu sudah datang.
Sindrom Paling Menderita yang dijadikan alasan pembelaan para koruptor ini justru membuat rakyat semakin muak dengan tingkah laku mereka. Daripada menyebut diri sebagai obyek penderita, lebih baik dalam pembelaannya para koruptor meminta maaf kepada masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H