Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Suara Hati Istri: Berani Menjadi Ibu Rumah Tangga Itu Hebat

8 Juni 2021   18:26 Diperbarui: 8 Juni 2021   18:33 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menjadi ibu rumah tangga berarti harus siap tidur paling malam dan bangun paling pagi (ilustrasi idea.24tv.ua diolah pribadi melalui Canva)

Catatan ini memang berawal dari kisah saya pribadi. Orangtua saya bukan termasuk orang yang kaya, tapi mereka cukup mampu untuk menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang pendidikan yang lebih dari SMA. Tak terkecuali saya.

Menyisihkan sebagian gaji mereka untuk menyekolahkan saya hingga meraih gelar S1 tidaklah mudah, namun dengan harapan besar anaknya nanti akan mendapatkan penghidupan (pekerjaan) yang lebih baik, mereka rela berikhtiar semaksimal mungkin. 

Dan akhirnya di sinilah saya, berhasil meraih gelar sarjana S1 plus, dengan tambahan predikat "pengangguran". Tidak aneh karena memang saat ini gelar S1 sudah menyemut, sehingga yang berpredikat "plus" seperti saya tidaklah sedikit.

Saya dulu sempat bekerja di beberapa perusahaan (bukan perusahaan besar seperti selalu saya impikan), tapi karena beberapa alasan, akhirnya saya memutuskan resign. Dan alasan yang terakhir inilah yang mengharuskan saya untuk tinggal di rumah, yaitu anak.

Dengan gaji kami (saya dan suami) saat itu, tidaklah mungkin bisa menggaji seorang pembantu atau baby sitter. Saya sendiri sebisa mungkin berusaha untuk tidak merepotkan orang tua di usia yang sudah senja, sudah cukup kiranya beban pikiran mereka, tak perlu saya tambahi lagi. Dengan prinsip tersebut, saya pun mulai menekuni profesi ibu rumah tangga.

Awalnya saya merasa berat dan tidak ikhlas menjalani hidup sebagai ibu rumah tangga. Orangtua, terutama ibu, tampak sekali dari sikap dan perkataannya tidak puas dengan keadaan saya yang memilih berhenti bekerja dan merawat anak. 

Sering tanpa sadar Ibu mengungkit perjuangannya (yang menurut beliau tidak kecil) untuk menyekolahkan saya, agar saya bisa meniti karir yang sukses, tapi yang terjadi saat ini sangat jauh dari yang beliau impikan.

Belum lagi sentilan-sentilan ibu-ibu di sekolah anak saya yang kadang dengan nada bercanda menggoda "Wah kamu termasuk sukses ya, habis sarjana langsung menghasilkan 2 (anak)."

Dan masih banyak lagi sentilan yang bisa membuat muka dan kuping memerah. Tapi mau bagaimana lagi, inilah kenyataan yang saya hadapi saat itu.

Butuh waktu yang tidak sebentar untuk merenung dan terus mencoba untuk mencari kelebihan seorang ibu rumah tangga. Akhirnya sedikit demi sedikit saya menemukannya.

Sebenarnya yang membuat peran ibu rumah tangga tidak berarti dan sering diremehkan adalah kita sendiri. Tanpa sadar kita selalu berpikir dan bicara dalam hati "Apalah saya ini, wong cuma ibu rumah tangga, ya nggak ada kerjaan di rumah." 

Dari pemikiran seperti itulah akhirnya mitos ibu rumah tangga itu profesi yang remeh terbentuk seperti apa yang kita ucapkan. Tapi benarkah demikian? Salah besar! 

Pekerjaan ibu rumah tangga ternyata tidak ada habisnya. Menjadi ibu rumah tangga berarti harus siap tidur paling malam dan bangun paling pagi. Kalaupun kita tertidur duluan, itu karena kondisi kita yang benar-benar lelah setelah seharian melakukan pekerjaan rumah tangga.

Seorang ibu (baca: istri) juga harus siap menjadi pendamping dan pengganti suami di saat sang suami bekerja atau sedang tidak di rumah. Ibulah yang harus meng-handle anak-anaknya seorang diri. 

Sungguh, pekerjaan ini benar-benar tidak mudah (makanya gaji pengasuh anak lebih besar dibandingkan ART biasa). Karena banyak berinteraksi dengan anak, mau tidak mau sebagian besar watak/tabiat ibu menurun kepada sang anak.

Tak salah apabila orang-orang bijak berkata, ibu adalah tonggak negara. Karena tanggung jawab ibu terkait erat dengan peran mereka dalam membentuk karakter anak. Mereka menjadi pondasi pembentukan kedewasaan jiwa anak.

Berikutnya kedekatan emosional dengan anak. Inilah yang kerap diremehkan orangtua khususnya ibu. Mereka seringkali tidak telaten (termasuk saya) mengakomodasi keinginan-keinginan anaknya, terutama saat mereka baru tumbuh.

Seringkali kita merasa jengkel, marah, saat anak-anak kita tidak menurut, atau meminta perhatian lebih. Kejadian ini biasanya berlangsung terus-menerus sehingga membentuk dinding pembatas komunikasi antara ibu dan anak. Sedapat mungkin kondisi ini saya hindari.

Kemungkinan kenakalan remaja juga berawal dari keengganan kita membuka komunikasi dengan anak. Ketika anak membutuhkan tempat berkeluh kesah, sementara orangtua khususnya ibu membangun dinding pembatas, bisa dipastikan mereka akan lari ke orang lain yang bisa menerimanya. 

Kalau tempat pelarian itu positif sih alhamdulillah. Bagaimana kalau anak-anak kita berkeluh kesah pada orang yang membawa pengaruh negatif?

Bagi saya sangatlah rugi membiarkan anak kita tumbuh dengan kemarahan-kemarahan kita dan ketidakpuasan mereka. Kondisi ini pada akhirnya akan memunculkan sifat-sifat negatif dalam diri sang anak. Padahal kalau kita menikmati peran atau profesi ibu rumah tangga, banyak sekali keuntungannya.

Pertama, ketika orang lain sibuk dengan pekerjaan di kantor atau sibuk mencari nafkah, kita  kita masih diberi kesempatan melihat anak-anak tumbuh dan berkembang di setiap tahapannya.

Kedua, menjadi ibu rumah tangga bukan berarti menjadikan kita tidak bisa kreatif. Setiap manusia diberikan kelebihan, dan seharusnyalah kita terus berusaha untuk menggali kelebihan itu untuk ditularkan kepada anak dan lingkungan. 

Tak sedikit kisah sukses ibu rumah tangga yang akhirnya menjadi tulang punggung keluarga dengan kegiatan yang pada awalnya dianggap remeh).

Ketiga, menjadi ibu rumah tangga bukan berarti tidak bisa meringankan beban suami. Bahkan seandainya kita tidak punya kegiatan sampingan yang menghasilkan. Satu peran ibu rumah tangga yang sering dilupakan adalah mereka bisa menurunkan tingkat stress suami lebih dari 90% dengan pengabdian mereka. Ini akan dapat memberikan dorongan suami untuk berbuat lebih bagi keluarga.

Dari perenungan inilah akhirnya saya berhasil menjalani profesi sebagai "ibu rumah tangga" dengan lebih ikhlas dan dengan segala konsekuensinya. 

Ketika kita mengangkat tinggi derajat profesi ibu rumah tangga, itu sama halnya kita mengubah opini yang kurang baik yang memandang rendah pekerjaan seorang ibu rumah tangga.

 Apa yang saya sampaikan ini bukan bermaksud mengecilkan para istri yang memilih menjalani karir di luar rumah. 

Saya pribadi tetap salut dengan mereka yang bekerja (selama tidak mengesampingkan kodrat mereka sebagai ibu). Saya yakin, pilihan mereka didasarkan pada berbagai pertimbangan yang sesuai dengan keadaan diri mereka.  

Melalui tulisan ini, saya hanya ingin menekankan bahwa sebagai ibu rumah tangga, janganlah kita merasa kecil dan tak berarti. Karena sesungguhnya kita punya andil besar terhadap pembentukan lingkungan sekitar kita terutama karakter dan kepribadian anak. 

Jangan pula memandang apa yang sudah diberikan orangtua kepada kita, khususnya pendidikan, sebagai beban hutang. Hargailah itu sebagai bentuk ikhtiar orangtua yang menginginkan anak-anak mereka mendapat pendidikan yang baik. 

Insya Allah suatu saat apa yang kita peroleh (bukan hanya gelar, tapi juga proses memperolehnya) akan bermanfaat. Saya yakin itu...

***

Tulisan ini dibuat oleh istri saya di awal kami hidup bersama dalam satu ikatan keluarga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun