Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kisah Exodus 1947, Kapal Pengangkut Imigran Israel Pertama ke Palestina

21 Mei 2021   18:21 Diperbarui: 21 Mei 2021   18:29 1386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kisah kapal Exodus 1947 adalah kudeta publisitas spektakuler bagi Zionis (wikimedia common)

Ketika Bani Israil berada dalam tekanan pemerintahan Firaun, Nabi Musa diperintahkan Allah membawa keluar Bani Israil dari Mesir, menuju negeri Kanaan dengan cara membelah Laut Merah. Peristiwa ini diabadikan dalam kitab-kitab suci agama Samawi, yang kemudian dikenal dengan peristiwa Eksodus (Exodus/Keluaran). Ribuan tahun kemudian dalam abad yang lebih modern, Bani Israil yang sekarang berkumpul dalam satu identitas kebangsaan Israel, kembali mengalami eksodus, migrasi besar-besaran. 

Eksodus Kedua Bangsa Israel

Eksodus kedua kalinya ini dipicu terjadinya holokaus terhadap orang-orang Yahudi yang dilakukan Nazi Jerman. Setelah Perang Dunia II, sekitar 250.000 orang Yahudi Eropa tinggal di kamp-kamp Pengungsi di Jerman dan Austria dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Organisasi Zionis  yang dibentuk Theodor Herzl mulai mengatur jaringan bawah tanah yang dikenal sebagai Brichah ("penerbangan", dalam bahasa Ibrani), dengan tujuan memindahkan ribuan orang Yahudi dari kamp konsentrasi ke pelabuhan di Laut Mediterania. Ini adalah bagian dari skema imigrasi Aliyah Bet yang dimulai setelah perang.

Aliyah Bet adalah kode yang diberikan pada imigran gelap Yahudi, yang sebagian besar adalah pengungsi yang melarikan diri dari Nazi Jerman dan korban selamat holocaust. Orang-orang Yahudi ini melanggar pembatasan yang ditetapkan dalam British White Paper 1939 sebagai tanggapan atas pemberontakan bangsa Arab tahun 1936-1939 di Palestina setelah negeri itu dijajah Inggris.

Dalam Buku Putih 1939 disebutkan,pemerintah Inggris akan membentuk rumah nasional Yahudi di negara Palestina merdeka dalam waktu 10 tahun dan menolak gagasan Komisi Peel untuk membagi Palestina. Buku Putih ini juga memuat aturan pembatasan imigran Yahudi hingga 75.000 selama lima tahun dan memutuskan bahwa migrasi selanjutnya akan ditentukan oleh mayoritas Arab. Orang Yahudi juga dilarang membeli tanah di semua tempat di Palestina dari orang Arab kecuali 5% dari yang sudah ditetapkan pemerintah Inggris.

Kelompok Zionis di Palestina langsung menolak White Paper dan memimpin kampanye penyerangan terhadap properti pemerintah yang berlangsung selama beberapa bulan. Gerakan Lehi Jews (Pejuang untuk Kebebasan Israel) dan Irgun (Organisasi Militer Nasional) memulai pemberontakan dengan kekerasan terhadap Mandat Inggris pada tahun 1940-an. Tiga kekuatan utama bawah tanah Yahudi (Lehi Jews, Irgun dan Haganah) kemudian bersatu membentuk Gerakan Perlawanan Yahudi dan melakukan beberapa serangan dan pemboman terhadap pemerintahan Inggris.

Publisitas negatif yang diakibatkan oleh situasi di Palestina menyebabkan kebijakan pendudukan Inggris di Palestina dan pembatasannya terhadap imigran Yahudi (mandat) menjadi sangat tidak populer di Inggris. Situasi ini akhirnya membuat Kongres Amerika Serikat menunda pemberian pinjaman vital Inggris untuk rekonstruksi paska Perang Dunia II.

Inggris kemudian mengumumkan keinginan mereka untuk mengakhiri mandat dan mundur dari Palestina selambat-lambatnya pada awal Agustus 1948. Keinginan Inggris ini langsung direspon Organisasi Zionis dengan mengorganisir pengungsian besar-besaran.

Pada awalnya banyak orang Yahudi pergi ke Palestina sendiri. Belakangan, mereka menerima dukungan finansial dari simpatisan di seluruh dunia. Organisasi-organisasi Yahudi bawah tanah menyiapkan kapal-kapal yang akan mengangkut pengungsi Yahudi ke Palestin. Kapal-kapal tersebut sebagian besar dikelola oleh sukarelawan dari Amerika Serikat, Kanada, dan Amerika Latin. Lebih dari 100.000 orang mencoba untuk berimigrasi secara ilegal ke Palestina, sebagai bagian dari Aliyah Bet. 

Exodus 1947, Kapal Pembawa Imigran Israel yang Jadi Alat Propaganda Negara Israel

Dari 64 kapal pengungsi Yahudi yang berlayar di Laut Mediterania, SS Exodus 1947 adalah yang terbesar, membawa 4.515 penumpang. Nama dan ceritanya mendapat banyak perhatian internasional, sebagian besar berkat kiriman dari jurnalis Amerika Ruth Gruber.

Para sejarawan mengatakan Exodus 1947 membantu menyatukan komunitas Yahudi Palestina dan pengungsi yang selamat dari holocaust di Eropa serta secara signifikan memperdalam simpati internasional atas penderitaan para penyintas Holocaust dan menggalang dukungan untuk gagasan negara Yahudi.  Salah satunya menyebut kisah Eksodus 1947 sebagai "kudeta publisitas spektakuler bagi Zionis".

Kapal sepanjang 98 meter ini awalnya bernama President Warfield, milik presiden Baltimore Steam Packet Company S. Davies Warfield. Pada 1942, War Shipping Administration (WSA) mengakuisisi kapal ini dan mengubahnya menjadi kapal pengangkut untuk Kementerian Transportasi Perang Inggris.

Pada 9 November 1946, organisasi paramiliter Zionis, Haganah, membeli kapal President Warfield dari WSA dan mengalihkannya ke Hamossad Le'aliyah Bet, cabang dari Haganah yang mengorganisir Aliyah Bet. Haganah sengaja memilih kapal ini karena kondisinya sudah terlantar. Haganah berpikir, jika otoritas Inggris melihat kapal terlantar ini membawa pengungsi, mereka akan membiarkannya melewati blokade karena tentu Inggris tidak ingin citranya buruk di mata internasional. Permainan psikologis Haganah akhirnya berhasil.

Sebelum berlayar, semua kapal yang membawa pengungsi Yahudi diganti namanya menjadi nama-nama dalam bahasa Ibrani. Maksudnya agar dapat menginspirasi dan mengumpulkan orang-orang Yahudi Palestina. Hamossad Lealiyah Bet mengganti nama President Warfield menjadi Exodus 1947. Nama ini terinspirasi dari peristiwa eksodus Bani Israil dari Mesir ke Kanaan yang dipimpin oleh Nabi Musa a.s.

Menurut sejarawan Israel Aviva Halamish, Exodus  1947 tidak pernah dimaksudkan untuk "menyelinap ke tepi pantai Palestina," atau berlayar secara sembunyi-sembunyi. Melainkan "untuk menerobos blokade secara terbuka, dengan mengelak dan dengan cepat menggigit, mendamparkan dirinya di tepi pasir dan melepaskan diri." Lalu memuntahkan ribuan pengungsi Yahudi. Kapal itu terlalu besar dan tidak biasa untuk tidak diperhatikan.

Benar juga, bahkan sebelum meninggalkan pelabuhan, Exodus sudah dibayang-bayangi oleh sekoci HMS Mermaid dan pesawat RAF. Selama perjalanannya, kapal tersebut diikuti oleh satu hingga lima kapal perusak Inggris serta sebuah pesawat terbang dan sebuah kapal penjelajah.

Para imigran Yahudi, dibantu oleh anggota paramiliter Haganah sejak awal sudah mempersiapkan diri apabila sewaktu-waktu dicegat oleh aparat Inggris. Kapal itu dibagi menjadi beberapa bagian yang dikelola oleh kelompok yang berbeda dan masing-masing sudah menjalani sesi latihan militer untuk perlawanan.

Aparat Inggris akhirnya berhasil mencegat Exodus 1947 dan naik ke dalam kapal 40 km sebelum lepas pantai Palestina, meski mendapat perlawanan yang keras. Akibatnya, satu relawan Amerika Serikat tewas dan dua pelaut Inggris luka berat. Dari pihak Exodus 1947, dua penumpang tewas tertembak dan sekitar 10 penumpang lainnya menderita cedera. 

Perlawanan Imigran Israel Saat Dideportasi ke Prancis

Inggris kemudian bermaksud mendeportasi imigran di Exodus 1947 ke Prancis. Sebelumnya, para imigran gelap Israel ditempatkan di kamp-kamp interniran di Siprus yang saat itu menjadi koloni Inggris. Kebijakan baru ini dimaksudkan untuk menjadi sinyal bagi komunitas Yahudi dan negara-negara Eropa yang membantu imigrasi bahwa apapun yang mereka kirim ke Palestina akan dikirimkan kembali kepada mereka.

Exodus 1947 lalu digiring ke pelabuhan Haifa. Di sana, para penumpangnya dipindahkan ke 3 kapal sebelum berlayar menuju Prancis. Disaksikan anggota Komisi Khusus PBB untuk Palestina (UNSCOP), ketiga kapal imigran gelap Israel itu berangkat menuju pelabuhan Port-de-Bouc, Marseille pada 19 Juli.

Niat Inggris mendeportasi imigran Israel mendapat tentangan dari Prancis. Ketika kapal tiba di Port-de-Bouc pada 2 Agustus, Pemerintah Prancis mengatakan akan mengizinkan penurunan penumpang hanya jika para imigran sukarela turun dan dideportasi ke Prancis.

Pernyataan ini langsung ditanggapi agen-agen Haganah di dalam kapal yang meminta para imigran untuk tidak turun dan tetap bertahan di kapal, serta menolak upaya Inggris yang ingin menurunkan paksa mereka. Para emigran bahkan melakukan mogok makan dan menolak bekerja sama dengan pihak berwenang Inggris.

Akibat pemberitaan yang luas, Inggris menyadari bahwa satu-satunya pilihan bagi mereka adalah menempatkan emigran gelap Israel ini di kamp-kamp di zona yang dikuasai Inggris pasca-perang Dunia II melawan Jerman. Mereka menyadari bahwa mengembalikan mereka ke kamp-kamp di Jerman akan menimbulkan protes publik, tetapi Jerman adalah satu-satunya wilayah di bawah kendali mereka yang dapat segera menampung begitu banyak orang. 

Emigran Exodus 1947 akhirnya berhasil di tempatkan di kamp pengungsi sementara di Am Stau dekat Lbeck dan Pppendorf, Jerman. Dalam proses deportasi tersebut, terjadi insiden kekerasan pada emigran yang menumpang kapal Runnymede Park.

Agen-agen Zionis lantas meluncurkan propaganda dan kampanye publisitas buruknya kamp penampungan serta perlakuan Inggris terhadap para pengungsi tersebut. Hal ini memaksa Inggris memindahkan emigran Israel ke Sengwarden dekat Wilhelmshaven dan Emden.

Bagi banyak imigran ilegal, ini hanya titik transit karena organisasi bawah tanah Zionis, Brichah berhasil menyelundupkan sebagian besar dari mereka ke zona Amerika Serikat. Dari sini mereka mencoba lagi untuk memasuki Palestina. Sebagian besar berhasil mencapai Palestina pada saat Deklarasi Kemerdekaan Israel. Dari 4.500 calon imigran Israel ke Palestina yang menumpang Exodus 1947, hanya tersisa 1.800  imigran yang tertahan di kamp-kamp pengungsi.

Dalam setahun, lebih dari setengah penumpang asli Exodus 1947 melakukan upaya lain untuk beremigrasi ke Palestina, yang berakhir dengan penahanan di Siprus. Inggris terus menahan para tahanan di kamp interniran Siprus sampai secara resmi mengakui Negara Israel pada Januari 1949, ketika mereka dipindahkan ke Israel. 

Terbitnya Novel Exodus

Kisah imigran gelap Israel di kapal Exodus 1947 dibukukan novelis Amerika Serikat, Leon Uris dalam novel sejarah Exodus. Novel ini menceritakan berdirinya Negara Israel yang diawali dengan penceritaan kembali perjalanan kapal Exodus 1947  dan menggambarkan sejarah berbagai karakter utama dan hubungan kehidupan pribadi mereka dengan kelahiran negara Yahudi baru.

Buku yang diterbitkan Doubleday pada 1958 ini menjadi best seller di Amerika Serikat sejak terbitnya Gone With The Wind (1936). Dari isinya, buku ini dipuji kritikus sebagai buku yang terang-terangan anti-Arab atau anti-Palestina dan sebagai "mengabaikan ketidakadilan dasar" di akar konflik Israel-Palestina.

Uris sendiri mengakui kalau dia menulis Exodus dari perspektif pro-Israel,  "Saya berangkat untuk menceritakan kisah Israel. Saya jelas bias. Saya jelas pro-Yahudi,"

Sementara Perdana Menteri Israel saat itu, David Ben-Gurion mengatakan bahwa: "sebagai bagian dari propaganda, itu (novel Exodus) adalah hal terbesar yang pernah ditulis tentang Israel".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun