Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Memahami Konflik Israel-Palestina dengan Pikiran yang Adil

18 Mei 2021   09:48 Diperbarui: 18 Mei 2021   10:03 1822
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konflik Israel-Palestina adalah topik yang super peka. Banyak orang bisa tersinggung apabila menemukan narasi berita atau opini yang tidak sesuai dengan apa yang mereka yakini selama ini. Sayangnya, keyakinan mereka akan konflik Israel-Palestina tidak didasarkan pada pemahaman yang sebenarnya.

Di berbagai media sosial, orang-orang terus memposting informasi palsu dan mencampur narasi hoaks tentang apa yang sebenarnya terjadi di Israel-Palestina. Lambat laun, narasi semacam ini akhirnya menimbulkan rasa kebencian terhadap ras dan agama tertentu. Padahal yang sebenarnya terjadi di sana jauh daripada konflik antar etnis maupun konflik agama.

Karena media Barat, banyak orang yang mengacaukan konflik Israel-Palestina dengan konflik agama, padahal sebenarnya tidak. Konflik Israel-Palestina adalah tentang tanah, bukan agama. Konflik tersebut berakar pada persaingan nasionalisme dan klaim teritorial.

Perbedaan Zionis, Yahudi dan Bangsa Israel

Untuk memahami konflik Israel-Palestina, terlebih dahulu kita harus bisa membedakan pengertian Zionis, Yahudi dan bangsa atau negara Israel itu sendiri.

Zionis berbeda dengan Yahudi. Istilah "Zionisme" berasal dari kata Zion (Ibrani: Tzi-yon), yang mengacu pada Yerusalem, salah satu kota tertua di dunia yang ditemukan pada 3000 SM. Yerussalem dulunya adalah ibukota kerajaan Yudea, salah satu kerajaan Bani Israil, cikal bakal orang Yahudi modern.

Penggunaan pertama istilah ini dikaitkan dengan Nathan Birnbaum dari Austria, pendiri gerakan mahasiswa Yahudi nasionalis Kadimah. Ia menggunakan istilah tersebut pada tahun 1890 dalam jurnalnya Selbstemanzipation! (Self-Emancipation)

Zionisme didirikan dengan tujuan politik untuk menciptakan negara Yahudi dalam rangka menciptakan bangsa di mana orang Yahudi bisa menjadi mayoritas, bukan minoritas yang mereka berada di berbagai negara dalam diaspora. Seorang Zionis adalah orang yang percaya dan berjuang untuk Negara Yahudi yang merdeka.

Tidak semua orang Israel adalah Zionis. Di Israel, ada banyak agama dan etnis yang terikat dalam satu identitas kewarganegaraan. Warga Israel ada yang menganut Yudaisme (Yahudi), Kristen, bahkan Islam. Yahudi juga tidak identik dengan Zionisme.

"Banyak orang Palestina dan pendukung perjuangan Palestina tidak lagi membedakan antara kata 'Yahudi', 'Israel' dan 'Zionis'. Itu tidak benar. Kebanyakan orang Yahudi tidak tinggal di Israel. Tidak setiap penduduk Israel adalah Yahudi; ada juga banyak non-Yahudi yang tinggal di Israel. Dan tidak semua orang Yahudi Israel adalah 'pemukim' yang ingin menaklukkan lebih banyak lagi tanah Palestina. Sebagian besar orang Yahudi percaya bahwa Negara Israel harus terus ada. Tetapi banyak orang Yahudi, baik yang tinggal di Israel dan di tempat lain, mendukung negara Palestina bersama Israel sebagai solusi yang mungkin untuk konflik tersebut. " -- Anne Frank House

Sejak jaman Kerajaan Yudea, orang-orang Bani Israil sudah mendiami kawasan Yerussalem. Kota tua ini tercatat pernah dihancurkan setidaknya dua kali, dikepung 23 kali, ditangkap dan direbut kembali sekitar 44 kali, dan diserang 52 kali. Bangsa Yunani, Romawi, hingga Ksatria Templar pernah menaklukkan dan merebut Yerussalem. Hingga kemudian Kesultanan Ottoman menaklukkan wilayah ini.  

Pada masa Kesultanan Ottoman, orang-orang Israel hidup bercampur dengan orang-orang Arab. Wilaya Palestina pada masa itu dikenal dengan multikulturalisme dan toleransinya. Menurut History Hit:

"Selama periode Ottoman, Muslim, Kristen, dan Yahudi, sebagian besar, hidup bersama secara harmonis. Kisah-kisah kontemporer menceritakan tentang umat Islam yang mengucapkan doa dengan tetangga Yahudi mereka, mengizinkan mereka mengambil air sebelum Sabat, dan bahkan mengirim anak-anak mereka ke sekolah-sekolah Yahudi sehingga mereka dapat belajar berperilaku baik. Pernikahan dan hubungan antara orang Yahudi dan Arab tidak pernah terjadi sebelumnya."

Munculnya Gerakan Zionisme di Palestina

Multikulturalisme dan toleransi ini bertahan hingga masa kolonialisme ketika Inggris merebut Palestina dari Kesultanan Ottoman pada 1917. Melalui Deklarasi Balfour, Inggris mengumumkan Palestina adalah "rumah nasional bagi orang-orang Yahudi". Sejak saat itu, orang-orang Yahudi terus berdatangan ke Palestina.

Pada abad ke-19, ada banyak seruan untuk nasionalisme. Banyak entitas etnis menginginkan negara merdeka untuk bangsa mereka sendiri. Theodore Herzl, yang dikenal sebagai bapak pendiri Zionisme, menyerukan pembentukan negara merdeka bagi orang Yahudi.

Theodor Herzl menganggap Antisemitisme sebagai fitur abadi dari semua masyarakat di mana orang Yahudi hidup sebagai minoritas, dan hanya pemisahan yang memungkinkan orang Yahudi lolos dari penganiayaan abadi. Dalam makalahnya berjudul Der Judenstaat, Herzl menulis "Biarkan mereka memberi kami kedaulatan atas sebagian permukaan bumi, cukup untuk kebutuhan rakyat kami, maka kami akan melakukan sisanya!"

Herzl mengusulkan dua wilayah yang mungkin untuk dijajah, Argentina dan Palestina. Herzl menginginkan Argentina karena wilayahnya yang luas dan berpenduduk jarang serta iklim sedang. Meski begitu, Herzl mengakui bahwa Palestina akan memiliki daya tarik yang lebih besar karena hubungan historis orang Yahudi dengan daerah itu (bekas wilayah kerajaan Yudea).

Di sisi lain, Palestina, yang pertama kali dikendalikan oleh Ottoman dan kemudian dijajah oleh Inggris, juga menginginkan negara Palestina yang merdeka. Akibatnya, konflik Israel-Palestina berpusat di sekitar ide-ide nasionalisme yang bertabrakan. Masing-masing pihak gagal untuk mengakui keabsahan klaim pihak lain. 

Konflik Israel-Palestina Bukan Konflik Agama

Dari sini kita bisa memahami bahwa akar dari konflik Israel-Palestina bukan masalah keagamaan. Apa yang terjadi di sana bukan konflik agama, melainkan perebutan teritorial atau pengakuan hak atas wilayah-wilayah tertentu, antara negara Israel yang dimotori oleh gerakan Zionisme dengan negara Palestina.

Di Israel, ada 39 partai politik dan yang berkuasa di Israel adalah partai Likud, partai politik sayap kanan yang penuh dengan ekstremis Zionis. Perdana Menteri Israel yang sekarang, Benjamin Netanyahu adalah seorang ekstremis dan Zionis yang sudah berkuasa di Israel selama 12 tahun.

Netanyahu tercatat telah diadili karena korupsi beberapa kali. Dia bermitra dengan ekstremis religius dan sayap kanan, nasionalis konservatif. Sementara itu Partai Likud dianggap bertanggung jawab atas pendudukan ilegal saat ini di Yerusalem dan percobaan pengendalian lingkungan Arab (penggusuran di Sheikh Jarrah dan lingkungan lainnya).

Tidak semua rakyat Israel mendukung kebijakan Partai Likud yang ekstrim ini. Banyak rakyat Israe yang marah dan membenci Benyamin Netanyahu. Banyak orang Yahudi tidak setuju dengan Zionisme. Masalahnya adalah, mereka tinggal di negara yang dikuasai tiran (Partai Likud) dan tidak dapat melarikan diri dari cabang pemerintahan sayap kanan yang ekstrim.

***

Penting bagi kita untuk memahami konflik Israel-Palestina dengan pikiran yang terbuka dan adil. Konflik ini terlalu sering disalahpahami hingga terkadang bisa keluar dari nalar.

Misalnya, ketika ada yang mengatakan Free Palestine, Bebaskan Palestina, apakah ini berarti mengeluarkan setiap orang Yahudi dari Israel? Harap ingat, orang-orang Israel sudah berada di sana sejak jaman nenek moyang mereka Nabi Daud dan Nabi Sulaiman. Hara diingat pula, Israel tidak berarti Yahudi dan banyak agama yang berbeda mengklaim Israel-Palestina sebagai rumah mereka.

Membicarakan konflik Israel-Palestina adalah membicarakan kemanusiaan. Orang-orang tak berdosa, baik Israel maupun Palestina, baik Yahudi, Kristen atau Muslim, sedang sekarat karena tirani pemerintah Israel dan ekstremis di kedua sisi. Kita perlu memutus siklus itu tetapi kita tidak dapat memutusnya hanya dengan berharap itu akan berakhir secepatnya.  Sebaliknya, kita harus mendidik diri kita sendiri tentang apa yang dapat kita lakukan untuk menengahi perdamaian.

***

Referensi:

1. The Israel-Palestine Situation Explained

2. 11 Facts about Israel-Palestine

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun