Mengenang Tradisi Salam Tempel Jaman Dulu
"Din, kamu sudah ke rumah Abah Rauf? tanya Amir pada Udin.
Saat itu sudah sore hari, beberapa anak berkumpul di beranda mushola kampung, saling membandingkan salam tempel yang mereka dapatkan setelah hampir setengah hari berkeliling mengunjungi tetangga-tetangga sekitar.
"Belum, memangnya kenapa?"
"Wah rugi kalau kamu gak ke sana. Abah Raouf ngasih uangnya banyak, sepuluh ribu lho Din. Gak kayak Bu Rahmia. Masak tadi aku kesana cuma dikasih dua ribu."
Ya, Seperti itulah suasana masa kecilku dulu. Saat lebaran tiba tak ada yang lebih dipikirkan anak-anak selain salam tempel.
Usai salat Ied di masjid, kami pun biasa beramai-ramai dengan teman-teman berkunjung ke rumah tetangga. Hampir setiap rumah di kampung kami kunjungi.
Setiap kali kami berkunjung, kami ditawari kue-kue yang sudah dihidangkan rapi di meja tamu. Namun bukan itu tujuan utama kami, melainkan salam tempelnya.
Waktu kecilku dulu, setiap anak biasa mendapat salam tempel seratus rupiah. Nilai segitu pada jaman aku kecil sudah terhitung besar. Karena itu, tak heran jika di rumah tetangga saya yang terhitung kaya, ramai dikunjungi anak-anak.Â
Meskipun tidak kenal sekalipun, kami yang masih berjiwa polos nekat bertamu, sekedar mengharapkan salam tempel dari tuan rumah. Dan sore harinya ketika semua tetangga sudah dikunjungi, kami pun membandingkan perolehan salam tempel yang kami dapatkan.Â