...
Aku manusia
Yang takut neraka
Namun aku juga
Tak pantas di surga
Kapan tiba ajalku
Ijinkan aku
Mengucap kata tobat pada-Mu
...
Tak semuanya lagu Ramadan bertema bulan Ramadan, atau tentang seluk beluk puasa. Bagi penikmat musik Indonesia dan musisi Indonesia sendiri, setiap lagu religi hampir pasti diidentikkan dengan suasana Ramadan.
Memang tak salah. Suasana Ramadan yang sangat istimewa seolah menginspirasi musisi Indonesia untuk menciptakan lagu khusus, baik bertemakan bulan Ramadan atau tema-tema religius lainnya.
Salah satu lagu Ramadan favoritku adalah Andai Ku Tahu yang dibawakan grup band Ungu. Lagu ini dirilis menjelang bulan Ramadan tahun 2006 dalam album rohani pertama mereka bertajuk Surga-Mu. Meski sudah berlalu belasan tahun, aku tak pernah bosan memutar lagu ini.
Selain aransemen musiknya, yang kusuka dari lagu ini adalah liriknya. Mungkin banyak yang tidak tahu, lirik lagu ini terinspirasi dari syair i'tiraf (pengakuan) Abu Nawas.Â
Mengenal Abu Nawas, Penyair Khalifah Harun Al-Rasyid
Dalam tradisi literasi masyarakat Indonesia, nama Abu Nawas dikenal sebagai tokoh cerdik nan lucu. Berkat kecerdikan dan sikap humorisnya, Abu Nawas dekat dengan Khalifah Harun Al-Rasyid dari dinasti Abbasiyah.Tak jarang, Abu Nawas dianggap tokoh fiksi pelengkap cerita 1001 malam yang berperan sebagai badut istana untuk menghibur raja.
Tokoh yang kita kenal bernama Abu Nawas ini sebenarnya seorang penyair. Nama aslinya Abu Ali al-Hasan ibnu Hani-al hakami.
Dia dilahirkan pada 145 H (747 M ) di kota Ahvaz di negeri Persia (Iran sekarang), dengan darah dari ayah Arab dan ibu Persia mengalir di tubuhnya. Ayahnya, Hani al-Hakam, merupakan anggota legiun militer Marwan II. Sementara ibunya bernama Jalban, wanita Persia yang bekerja sebagai pencuci kain.
Ketika ayahnya meninggal dunia, sang ibu lalu membawanya ke Basrah, Irak. Di kota inilah Abu Ali al-Hasan belajar berbagai ilmu pengetahuan. Masa mudanya penuh perilaku kontroversial yang membuat namanya dikenal sebagai tokoh yang unik dalam khazanah sastra Arab Islam.
Kepandaiannya menulis puisi menarik perhatian khalifah Harun al-Rasyid. Abu Nawas akhirnya diangkat menjadi penyair istana (sya'irul bilad). Tugasnya utamanya menggubah puisi puji-pujian untuk khalifah. Kegemarannya bermain kata-kata dengan selera humor yang tinggi membuatnya menjadi seorang legenda.
Pada masa itu, lazim bagi setiap sastrawan Arab mencantumkan nama alias (nama pena) dalam setiap karya mereka. Begitu pula dengan Abu Ali Al-Hasan, yang menuliskan nama Abu Nuwas sebagai pengganti nama aslinya. Dalam bahasa Persia disebut Abu Novas, sementara masyarakat Indonesia lebih suka memlesetkannya menjadi Abu Nawas.
Syekh Ahmad Al Iskandari dan Syekh Mustafa Anani dalam catatannya di kitab Al-Wasith fil Adabil 'Arabi wa Tarikhihi, menggambarkan Abu Nawas sebagai penyair multivisi, penuh canda, berlidah tajam, pengkhayal kelas berat, dan tokoh terkemuka sastrawan angkatan baru. Salah satu karyanya yang paling terkenal dan abadi hingga sekarang adalah syair I'tiraf-Ilahilas, sebuah pengakuan dosa.Â
Mengupas Bait Syair I'tiraf
Syair pengakuan dosa ini bahkan didendangkan banyak umat Islam di surau-surau kampung setiap malam Jumat selepas azan Maghrib. Karena berbahasa Arab dan artinya sangat religius, banyak yang mengira syair ini adalah doa, tanpa pernah tahu bahwa pengarangnya adalah Abu Nawas. Berikut syair itiraf Abu Nawas:
Ilahiy lastu lilfirdausi ahla,
walaa aqwa 'ala naaril jahiimi
(Ya Allah ... aku bukanlah penghuni surga-Mu tetapi hamba tiada kuat menerima siksa neraka-Mu)
Nah, bait pertama syair i'tiraf ini mirip dengan lirik lagu Andai Ku Tahu yang dinyanyikan Ungu bukan?
Syair pengakuan Abu Nawas yang dikutip grup band Ungu ini memang unik dan menggelitik. Perhatikan saja paragraf pertamanya:
"Ya Tuhanku... aku tidak pantas masuk surga, tapi aku tidak kuat dengan panasnya api neraka."
Lha, kalau tidak pantas masuk surga dan tidak kuat masuk neraka, lalu mau ditempatkan dimana si Abu Nawas ini?
Seandainya ada malaikat lewat dan mendengar syair pengakuan tersebut, mungkin sang malaikat akan langsung menegur Abu Nawas,
"Hai Abu Nawas, berani-beraninya kamu bicara seperti itu. Bukankah Allah menciptakan neraka bagi hamba-hamba-Nya yang pendosa? Kalau kamu tidak kuat menerima siksa neraka-Nya, ya jangan melakukan dosa."
Sang malaikat lalu melanjutkan, "Kalau kamu mengaku tidak pantas masuk surga, maka berperilakulah seperti penghuni surga dengan melakukan amal ibadah dan kebaikan."
Seolah tidak menghiraukan teguran malaikat itu, Abu Nawas melanjutkan pengakuannya:Â
Fahabli taubatan waghfir dzunubi,
fainnaka ghafirudz- dzanbil 'adzimi
Dzunubi mitslu a'daadir- rimali,Â
fahabli taubatan ya Dzal Jalaali,
Wa 'umri naqishu fi kulli yaumi,
wa dzanbi zaaidun kaifah-timali
(Maka kami mohon taubat dan mohon ampun atas dosaku
Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun atas dosa-dosa
Dosa-dosaku seperti bilangan pasir di pantai,
Maka anugerahilah hamba taubat,
Wahai Yang Memiliki Keagungan
Dan umur hamba berkurang setiap hari,
Sementara dosa-dosa hamba selalu bertambah,
Apalah daya hamba menanggungnya)
Setelah mengaku dosanya sebanyak bilangan pasir di pantai, dan setiap hari dosanya bertambah seiring umurnya yang berkurang setiap hari, Abu Nawas menghiba memohon ampun:
Ilahi 'abdukal 'aashi ataaka,
muqirran bi dzunubi wa qad da'aaka
fain taghfir fa anta lidzaka ahla,
wain tadrud faman narju siwaaka
(Ya Allah... hamba-Mu yang penuh maksiat ini,
datang kepada-Mu bersimpuh memohon ampunan,
Jika Engkau ampuni memang Engkau adalah Pemilik Ampunan,
Tetapi jika Engkau menolak taubatku, maka kepada siapa lagi aku berharap?)
Agar permohonan ampunannya diterima, Abu Nawas seperti hendak mengambil hati Tuhannya. Dia menutup syairnya dengan negosiasi tingkat tinggi:
"Jika Engkau ampuni dosaku memang Engkau adalah Pemilik Ampunan, Tetapi jika Engkau menolak taubatku, maka kepada siapa lagi aku berharap?"
Syair ini seolah menjadi gambaran perjalanan hidup Abu Nawas dari manusia yang suka maksiat yang terpengaruh oleh kehidupan hedon-nya semasa menjadi penyair istana, menjadi manusia rohani yang tunduk dengan penghambaan total.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H