Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Kamu Pasti Merindukan Suasana Ramadan Masa Kecil Seperti Ini

19 April 2021   08:06 Diperbarui: 19 April 2021   08:08 1461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ngomongin nostalgia suasana Ramadan di masa kecil seakan tidak ada habisnya dan tak pernah membosankan. Di waktu kecil, masjid adalah rumah keduaku.

Hampir setiap malam, selama bulan Ramadan tempat tidurku adalah beranda masjid di kampung. Beralaskan tikar, berselimut sarung. Suasana masjid di kampung seolah tak pernah mati. Ramai dengan anak-anak kampung yang bermalam disana.

Tentu saja kami, anak-anak kampung ini tidak cuma sekedar numpang tidur saja. Tadarus Al-Quran adalah kegiatan wajib yang kami lakukan usai salat tarawih.

Duduk mengelilingi bangku yang ditata memutar, kami bergantian membaca ayat-ayat suci Al-Quran. Sebisa mungkin kami membacanya dengan baik dan benar. 

Seolah pada saat itu kami sedang berlomba membaca Al-Quran dengan tilawah terbaik yang kami bisa. Saat membacanya, ada rasa bangga suara kami didengar warga seantero kampung lewat pengeras suara masjid.

Tabuhan Bedug dan Musik Patrol Tanda Waktu Sahur

Jarum jam mendetak ke angka 12, pengeras suara masjid pun dimatikan. Giliran orang-orang tua yang meneruskan tadarus Al-Quran. Sementara kami bersiap diri untuk tidur sejenak, hingga waktu sahur pun tiba.

Dulu, di kampungku yang terletak di pinggiran kota Surabaya, waktu sahur ditandai dengan tabuhan beduk di Masjid Jami' kampung. Tapi tabuhannya tidak seperti saat menandai waktu sholat lima waktu.

Kami, anak-anak muda yang tidur di masjid, menabuh beduk dengan berirama. Biasanya ada dua orang yang menabuh: kakakku, yang pandai menabuh bedug dan Uwi, teman satu kampung yang keterampilan menabuhnya juga tidak kalah.

Aku dan anak-anak lainnya menimpali tabuhan beduk itu dengan menabuh kentongan kayu. Sedangkan yang tidak kebagian alat tabuh bertugas membangunkan warga lewat pengeras suara: Sahur, sahur, sahur.....

Lebih kurang setengah jam kami menabuh bedug dan kentongan sebagai tanda waktu masuk sahur. Setelah itu, kami beranjak dari masjid untuk keliling kampung. Masing-masing anak membawa kentongan dari bambu. Beberapa anak yang lain membawa galon air atau bekas wadah cat dinding.

Dari masjid kami berjalan kaki menyurusi jalan dan gang di kampung yang sempit. Dari sela-sela dinding rumah yang berdempetan, kami menyebut nama-nama tetangga yang kami kenal.

 "Cak Dul, Sahur! Ojok kemulan terus" (Pak Dul, Sahur! Jangan berselimut terus).

"Ning Dah, jangane wis mateng ta?" (Ning Dah, sayurnya sudah matang?)

Dengan menyebut nama-nama tetangga, suasana kekeluargaan dan kekerabatan di antara kami sesama warga kampung terasa sangat kental. Tak ada yang tersinggung, apalagi sakit hati karena dibangunkan mendadak untuk makan sahur.

Setelah berkeliling dari satu gang ke gang lain, kami kembali ke masjid mengembalikan kentongan dan alat-alat musik patrol lainnya, sebelum akhirnya pulang ke rumah masing-masing. Setelah makan sahur di rumah, diiringi salawat tarhim Shaikh Mahmoud Khalil Al-Hussary sebagai penanda azan subuh akan berkumandang, kami berangkat ke masjid untuk salat subuh berjamaah. 

Bermain Mercon Bumbung dan Mercon Pendem

Di jamanku dulu, sekolah-sekolah diliburkan sebulan untuk menghormati bulan Ramadan. Karena libur, jam tidur kami pun jadi terbalik. Malam beraktivitas di masjid atau surau, paginya kami mendengkur hingga azan Dhuhur.

Siang hari, kami menghabiskan waktu bermain mercon bumbung di pomahan, sebutan untuk tanah kosong yang jadi hutan kecil. Suara dentuman mercon bumbung sahut menyahut. Sesekali terdengar dentuman besar. Suara yang berasal dari mercon pendem, petasan dari karbit yang dipendam di bawah tanah. Hanya anak-anak dewasa yang berani membuat dan menyalakan mercon pendem.

Puas bermain mercon bumbung, kami pulang ke rumah sekedar mampir untuk mandi. Setelah itu kami balik ke masjid, menunggu warga kampung yang kebagian sedekah takjil. Setiap kali ada takjil yang diserahkan, beberapa anak mengambil satu dua untuk disembunyikan.

"Buat bekal perang sarung," kata mereka.

Perang Sarung Usai Salat Tarawih

Namanya juga anak-anak, wajar jika ada yang sedikit nakal. Namun, kenakalan kami di bulan Ramadan hanya sebatas perang sarung dengan anak-anak gang lain.

Perang sarung biasanya dilakukan usai salat tarawih (ilustrasi:ciayo.com)
Perang sarung biasanya dilakukan usai salat tarawih (ilustrasi:ciayo.com)

Begitulah, usai salat tarawih, beberapa anak sudah melepas sarung yang semula mereka kenakan. Ujungnya diikat menyerupai gulungan, gunanya untuk memukul lawan.

Setelah menyiapkan perlengkapan perang, kami pun berangkat ke medan perang sarung. Lokasinya tak jauh dari masjid, di perempatan jalan utama kampung, tepat di depan pos ronda.

Lawan yang ditunggu pun datang. Tidak seperti tawuran yang dilakukan beramai-ramai, perang sarung di kampungku dilakukan satu lawan satu.

Biasanya, anak yang paling berani (dan paling nakal) akan maju duluan dan menantang pihak lawan. Setelah saling ejek, aksi gebuk-gebukan menggunakan sarung berbonggol berlangsung seru.

Anak yang menyerah setelah terkena beberapa pukulan sarung biasanya menyingkir ke belakang barisan, digantikan anak-anak yang lain. Begitu seterusnya. Setelah semua anak kebagian lawan, perang sarung pun berakhir dan kami kembali ke markas, eh masjid untuk menyusun strategi perang sarung berikutnya.

***

Seru kan nostalgia suasana Ramadan masa kecilku? Seandainya waktu bisa berputar kembali, tentulah aku dan juga orang lain seusiaku ingin kembali ke masa anak-anak, sekedar mengulang dan menikmati betapa indahnya suasana Ramadan saat itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun