Dari masjid kami berjalan kaki menyurusi jalan dan gang di kampung yang sempit. Dari sela-sela dinding rumah yang berdempetan, kami menyebut nama-nama tetangga yang kami kenal.
 "Cak Dul, Sahur! Ojok kemulan terus" (Pak Dul, Sahur! Jangan berselimut terus).
"Ning Dah, jangane wis mateng ta?" (Ning Dah, sayurnya sudah matang?)
Dengan menyebut nama-nama tetangga, suasana kekeluargaan dan kekerabatan di antara kami sesama warga kampung terasa sangat kental. Tak ada yang tersinggung, apalagi sakit hati karena dibangunkan mendadak untuk makan sahur.
Setelah berkeliling dari satu gang ke gang lain, kami kembali ke masjid mengembalikan kentongan dan alat-alat musik patrol lainnya, sebelum akhirnya pulang ke rumah masing-masing. Setelah makan sahur di rumah, diiringi salawat tarhim Shaikh Mahmoud Khalil Al-Hussary sebagai penanda azan subuh akan berkumandang, kami berangkat ke masjid untuk salat subuh berjamaah.Â
Bermain Mercon Bumbung dan Mercon Pendem
Di jamanku dulu, sekolah-sekolah diliburkan sebulan untuk menghormati bulan Ramadan. Karena libur, jam tidur kami pun jadi terbalik. Malam beraktivitas di masjid atau surau, paginya kami mendengkur hingga azan Dhuhur.
Siang hari, kami menghabiskan waktu bermain mercon bumbung di pomahan, sebutan untuk tanah kosong yang jadi hutan kecil. Suara dentuman mercon bumbung sahut menyahut. Sesekali terdengar dentuman besar. Suara yang berasal dari mercon pendem, petasan dari karbit yang dipendam di bawah tanah. Hanya anak-anak dewasa yang berani membuat dan menyalakan mercon pendem.
Puas bermain mercon bumbung, kami pulang ke rumah sekedar mampir untuk mandi. Setelah itu kami balik ke masjid, menunggu warga kampung yang kebagian sedekah takjil. Setiap kali ada takjil yang diserahkan, beberapa anak mengambil satu dua untuk disembunyikan.
"Buat bekal perang sarung," kata mereka.
Perang Sarung Usai Salat Tarawih
Namanya juga anak-anak, wajar jika ada yang sedikit nakal. Namun, kenakalan kami di bulan Ramadan hanya sebatas perang sarung dengan anak-anak gang lain.