Banyak orang berharap karir mereka segaris lurus dengan pendidikan yang mereka tempuh. Kuliah kedokteran ya harus jadi dokter. Menyandang gelar insinyur ya harus bekerja di bidang keteknikan.
Begitulah pola pikir orangtua kita yang masih terbawa hingga jaman sekarang. Makanya, seringkali orang memandang aneh apabila kita salah profesi atau bekerja tidak sesuai dengan bidang pendidikan yang sudah kita jalani sebelumnya.
Dari Sarjana Teknologi Pertanian Menjadi Salesman
Aku sendiri juga pernah berpikir seperti itu. Usai lulus kuliah, aku langsung melamar kerja di beberapa perusahaan yang sesuai dengan disiplin ilmu: pengolahan pangan atau industri makanan.
Seiring waktu, idealisme seringkali harus mengalah dengan kenyataan hidup. Tak kunjung menerima panggilan wawancara kerja, aku pun mengirim lamaran kerja ke sembarang perusahaan. Yang penting kerja dulu.
Prinsip asal kerja dulu ini ternyata juga dianut banyak temanku. Pada akhirnya, ada teman yang bekerja di bank, jadi jurnalis, marketing, dan tak sedikit yang pulang ke kampung halaman menggantikan peran orangtuanya untuk bercocok tanam.
Aku sendiri cukup beruntung bisa langsung bekerja tanpa menunggu lama, itu pun berkat bantuan orangtua teman baikku.
Jadi marketing di sini dulu. Nanti kalau ada pekerjaan yang lebih baik dan lebih sesuai, silahkan pindah, kata ayah temanku itu.
Ternyata, apa yang dikatakan ayah temanku itu tak kunjung menemui kenyataan. Meski sudah berpuluh kali aku melamar kerja di perusahaan yang sesuai dengan gelar sarjanaku, aku belum juga menerima panggilan wawancara.
Akhirnya, profesi di bidang marketing itu kujalani dengan sepenuh hati. Lebih dari 10 tahun aku menekuni pekerjaan bidang pemasaran. Dari menjadi sales hingga dipercaya memimpin unit penjualan.
Perjalanan karirku sebenarnya baik-baik saja. Â Tapi karena alasan keluarga dan di luar itu aku juga sudah punya pondasi untuk berwirausaha, aku memutuskan untuk berhenti bekerja.
Di sela-sela mengurus usaha, aku terus melatih keterampilan menulis, hobi yang sudah kutekuni sejak jaman SMA. Syukurlah, berkat tulisan-tulisan yang kutayangkan di Kompasiana, aku mendapat penawaran kerjasama penulisan konten. Berkat artikel-artikelku itu pula aku mendapat tawaran menjadi fasilitator bagi UMKM, memberi pelatihan wirausaha serta pengetahuan digital marketing. Hingga kemudian jalan takdirku berbelok arah.Â
Pekerjaanku Menulis, Profesiku Guru Al-Quran
Berawal dari kegiatan mengaji di masjid dekat rumah, aku mendapat amanah yang cukup berat.
"Kami ini sudah tua, Mas Himam. Tidak bisa segesit dulu bila harus mengurusi TPQ ini lagi. Kemarin saja waktu saya fotokopi daftar santri, saya diingatkan sama tukang fotokopinya, 'Bu Heny, apa gak ada yang muda-muda di TPQ-nya. Kok Bu Heny sendiri yang fotokopi?'
Itu sebabnya, kalau nanti TPQ ini dibuka lagi, kami minta Mas Himam saja yang jadi operator, yang mengurusi semuanya. Kami hanya minta satu hal, ijinkan kami tetap mengajar. Cuma itu satu-satunya yang membuat kami bahagia."
Permintaan Bu Heny, kepala TPQ Al Kautsar Masjid Nailun Hamam disampaikan beliau beberapa bulan yang lalu. Sekaligus menjadi awal sesuatu yang baru dalam hidupku: mengelola dan menjadi guru Al-Quran di TPQ.
Sekalipun beberapa tahun terakhir aku sudah terbiasa mengajar di kelas UMKM, ternyata mengajar Al-Quran tak semudah yang kubayangkan. Mengajar Al-Quran memang beda dengan mengajar ilmu-ilmu biasa. Butuh ketelitian, kewaspadaan, ketegasan dan kesabaran.
Seorang guru Al-Quran dituntut untuk teliti terhadap bacaan Al-Quran siswanya. Guru Al-Quran juga harus waspada terhadap setiap perilaku siswa selama di dalam kelas. Guru Al-Quran juga harus tegas, tidak boleh membiarkan terjadinya kesalahan bacaan, meski itu pengucapan satu huruf atau harakat. Di luar itu, yang lebih penting lagi adalah guru Al-Quran harus sabar. Karena belajar Al Quran membutuhkan proses pengulangan.
Aku tak pernah menganggap guru Al-Quran sebagai pekerjaan utama, juga bukan untuk mencari penghasilan tambahan. Seperti ketika aku mengisi formulir pendaftaran putraku, pada kolom pekerjaan orangtua aku tetap mengisinya dengan pekerjaan yang sudah memberiku penghasilan selama ini: Penulis Konten atau Blogger.
Bagiku, guru Al-Quran adalah profesi yang membanggakan. Menjadi guru Al-Quran adalah pengabdian sekaligus jalan untuk mencari bekal. Dan, aku sangat bangga dengan jalan pengabdianku ini. Sekalipun di luar sana mungkin banyak orang yang meremehkan profesi guru Al-Quran dibandingkan profesi guru atau profesi lain yang lebih menjanjikan dari sisi penghasilan.
Selama 4 bulan terakhir, aku seperti larut dalam kecintaan profesi baruku. Bahkan seringkali aku merindu dan tak sabar untuk berjumpa lagi dengan anak-anak, mengajar dan membimbing mereka agar bisa membaca Al-Quran dengan baik dan benar.
Suara serak hingga hampir menghilang dari tenggorokan berganti tetesan lembut air mata saat mendengar anak-anak membaca Al-Quran secara tartil dan fasih. Ketika melihat murid-murid yang menjengkelkan dan melelahkan, terkadang hati teruji kesabarannya. Namun semua kejengkelan itu hilang berganti senyum bahagia saat pikiran menghadirkan gambaran, bahwa di antara satu dari anak-anak yang belajar Al-Quran itu kelak akan menarik tangan kita menuju surga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H