Berawal dari kegiatan mengaji di masjid dekat rumah, aku mendapat amanah yang cukup berat.
"Kami ini sudah tua, Mas Himam. Tidak bisa segesit dulu bila harus mengurusi TPQ ini lagi. Kemarin saja waktu saya fotokopi daftar santri, saya diingatkan sama tukang fotokopinya, 'Bu Heny, apa gak ada yang muda-muda di TPQ-nya. Kok Bu Heny sendiri yang fotokopi?'
Itu sebabnya, kalau nanti TPQ ini dibuka lagi, kami minta Mas Himam saja yang jadi operator, yang mengurusi semuanya. Kami hanya minta satu hal, ijinkan kami tetap mengajar. Cuma itu satu-satunya yang membuat kami bahagia."
Permintaan Bu Heny, kepala TPQ Al Kautsar Masjid Nailun Hamam disampaikan beliau beberapa bulan yang lalu. Sekaligus menjadi awal sesuatu yang baru dalam hidupku: mengelola dan menjadi guru Al-Quran di TPQ.
Sekalipun beberapa tahun terakhir aku sudah terbiasa mengajar di kelas UMKM, ternyata mengajar Al-Quran tak semudah yang kubayangkan. Mengajar Al-Quran memang beda dengan mengajar ilmu-ilmu biasa. Butuh ketelitian, kewaspadaan, ketegasan dan kesabaran.
Seorang guru Al-Quran dituntut untuk teliti terhadap bacaan Al-Quran siswanya. Guru Al-Quran juga harus waspada terhadap setiap perilaku siswa selama di dalam kelas. Guru Al-Quran juga harus tegas, tidak boleh membiarkan terjadinya kesalahan bacaan, meski itu pengucapan satu huruf atau harakat. Di luar itu, yang lebih penting lagi adalah guru Al-Quran harus sabar. Karena belajar Al Quran membutuhkan proses pengulangan.
Aku tak pernah menganggap guru Al-Quran sebagai pekerjaan utama, juga bukan untuk mencari penghasilan tambahan. Seperti ketika aku mengisi formulir pendaftaran putraku, pada kolom pekerjaan orangtua aku tetap mengisinya dengan pekerjaan yang sudah memberiku penghasilan selama ini: Penulis Konten atau Blogger.
Bagiku, guru Al-Quran adalah profesi yang membanggakan. Menjadi guru Al-Quran adalah pengabdian sekaligus jalan untuk mencari bekal. Dan, aku sangat bangga dengan jalan pengabdianku ini. Sekalipun di luar sana mungkin banyak orang yang meremehkan profesi guru Al-Quran dibandingkan profesi guru atau profesi lain yang lebih menjanjikan dari sisi penghasilan.
Selama 4 bulan terakhir, aku seperti larut dalam kecintaan profesi baruku. Bahkan seringkali aku merindu dan tak sabar untuk berjumpa lagi dengan anak-anak, mengajar dan membimbing mereka agar bisa membaca Al-Quran dengan baik dan benar.
Suara serak hingga hampir menghilang dari tenggorokan berganti tetesan lembut air mata saat mendengar anak-anak membaca Al-Quran secara tartil dan fasih. Ketika melihat murid-murid yang menjengkelkan dan melelahkan, terkadang hati teruji kesabarannya. Namun semua kejengkelan itu hilang berganti senyum bahagia saat pikiran menghadirkan gambaran, bahwa di antara satu dari anak-anak yang belajar Al-Quran itu kelak akan menarik tangan kita menuju surga.