Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mungkinkah Pemerintah Menghidupkan Kembali SDSB sebagai Solusi Ekonomi Nasional?

9 Februari 2021   07:18 Diperbarui: 11 Februari 2021   14:42 5621
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Melalui SDSB roda perekonomian masyarakat akan kembali berjalan normal (sumber gambar: historia.id)

Rasanya agak sulit bagi pemerintah untuk berharap banyak dari Gerakan Nasional Wakaf Uang. Bukannya meremehkan jiwa sosial umat Islam di Indonesia. Kita yakin, umat Islam di Indonesia sangat ringan tangan. Bahkan menurut sebuah survei, kaum muslim Indonesia dikenal paling dermawan.

Tetapi, dengan berbagai narasi islamofobia yang berulangkali disebar pihak-pihak yang pro pemerintah, hal ini malah akan mendelegitimasi upaya Gerakan Nasional Wakaf Uang. Kepercayaan umat Islam terhadap pemerintah saat ini, terutama yang sering bersikap kritis terhadap pemerintah rasanya sudah berada di titik nadir.

Sikap skeptis terhadap Gerakan Nasional Wakaf Uang terlihat dari berbagai komentar yang menghiasi media sosial. Rata-rata mempertanyakan, mengapa di saat kondisi perekonomian negara sedang kritis dihantam pandemi Covid-19, pemerintah berpaling ke konsep syariah, suatu hal yang dalam 6 tahun terakhir diserang habis-habisan dan dianggap tidak cocok diterapkan di negara yang memiliki keragaman etnis, budaya dan kepercayaan seperti Indonesia.

Sampai-sampai ada meme yang berbunyi, "Ajaran Islam yang tidak radikal: dana haji, wakaf dan kotak amal".

Dengan kondisi ini, pemerintah harus mencari jalan lain untuk menambah penerimaan negara, terutama untuk pembiayaan infrastruktur. Dengan hutang yang semakin menumpuk, rasanya sangat riskan apabila pemerintah mencari hutang lagi. Baik itu dari negara donor maupun dari rakyatnya sendiri.

Salah satu solusi yang mungkin bisa meringankan beban keuangan negara, sekaligus meningkatkan kepedulian sosial masyarakat Indonesia adalah dengan menyelenggarakan kembali Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah, atau SDSB.

Ketika Negara Melegalkan Perjudian

Sebelum SDSB, pemerintahan era Sukarno pada 1960-an pernah mengijinkan beredarnya kupon undian berhadiah yang dikelola Yayasan Rehabilitasi Sosial. Hadiah yang dikeluarkan nilainya cukup menggiurkan -- untuk ukuran saat itu --  yakni mencapai 500.000 rupiah. Di Jakarta, Gubernur Ali Sadikin juga melegalkan semacam tebak-tebakan berhadiah yang dikenal sebagai Nalo (Nasional Lotere).

Presiden Soekarno kemudian menghentikan segala bentuk undian berhadiah dan perjudian tebak-tebakan melalui Keppres No. 113 Tahun 1965 yang menyatakan lotre buntut bersama musik ngak-ngik-ngok merusak moral bangsa dan masuk dalam kategori subversiv. Yayasan Rehabilitasi Sosial pun ditutup.

Pada era Soeharto, perjudian berkedok undian berhadiah kembali dihidupkan dengan nama Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah yang dikelola Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial (YDKSB). Laporan Kedaulatan Rakyat 27 Maret 1986, menyebut undian SSB setiap tahunnya memperoleh omzet kurang lebih 1 triliun rupiah.

Tak hanya SDSB, pemerintah Soeharto juga melegalkan kupon judi yang disebut Porkas, akronim dari Pekan Olahraga dan Ketangkasan.

Pemerintah Soeharto mengklaim porkas berbeda dengan undian hadiah berbau judi sebelumnya. Dalam porkas tidak ada tebakan angka, melainkan penebakan menang-seri-kalah berdasarkan pertandingan 14 klub sepakbola di Divisi Utama.

Karena dianggap judi murni, Porkas mendapat banyak tentangan dari masyarakat. Meski tak sedikit pula yang mendukungnya dan menganggap program ini dapat membantu permasalahan keuangan negara.

Gelombang protes yang semakin besar akhirnya membuat Majelis Ulama Indonesia (MUI) membuat fatwa bahwa segala macam bentuk perjudian, apa pun kedok di baliknya adalah haram. MUI dan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) mendesak pemerintah untuk menghentikan praktik lotere dan tebak-tebakan skor pertandingan sepakbola yang diiming-imingi hadiah besar.

Peredaran kupon baru benar-benar dapat dihentikan pada 24 November 1993. Para agen perjudian itu tidak lagi mengedarkan kupon SDSB maupun KSOB. Di hadapan anggota DPR, Menteri Sosial saat itu, Endang Kusuma Inten Soewono mengumumkan penghapusan undian berhadiah.  

Pertanyaannya, kalau sudah tahu segala macam bentuk judi itu haram, mengapa mengusulkan SDSB diadakan kembali?

SDSB Sebagai Solusi Ekonomi Nasional

Memang benar, sesuai syariat Islam judi itu haram. Undian berhadiah yang sifatnya untung-untungan pun termasuk dalam bentuk perjudian. Namun penting untuk diingat, negara kita bukan negara agama. Negara kita bukan negara yang menganut syariat Islam atau hukum agama tertentu.

Lagipula, bukankah kita sampai saat ini sudah terbiasa dengan segala macam bentuk undian berhadiah?

Coba ingat kembali, banyak bank konvensional yang mengeluarkan program undian dengan iming-iming hadiah milyaran rupiah bagi nasabahnya. Nomor rekening nasabah yang berhak memenangkan hadiah diundi dan disiarkan secara langsung oleh televisi nasional.

Kita juga bisa mengamati sendiri, banyak perusahaan yang mengeluarkan program undian bagi pelanggan atau masyarakat yang membeli produknya. Atau kuis-kuis di media sosial yang pemenangnya ditentukan lewat pengundian. Nah, mengapa pemerintah tidak mengadopsi undian semacam itu?

Sistemnya mungkin sama dengan SDSB zaman Soeharto, namun tanpa disertai tebakan angka. Masyarakat cukup membeli kupon, lalu pemerintah akan mengundi nomor kupon yang berhak mendapatkan hadiahnya. Nilai kuponnya juga jangan terlalu besar agar minat masyarakat untuk membelinya tinggi.

Sekiranya nanti muncul gelombang protes, abaikan saja. Tunjukkan bukti dan argumentasi bahwa program semacam ini sudah lama kita lakukan dan aman-aman saja. Bila perlu, kerahkan pendengung di media sosial untuk menyosialisasikan undian berhadiah skala nasional.

Jika di zaman Soeharto omzet SDSB bisa mencapai 1 triliun setiap tahun, pemerintah bisa menghitung sendiri berapa omzet yang dapat diterima saat ini. Dengan kondisi perekonomian yang tengah lesu dan gelombang PHK yang menerjang masyarakat akibat dihantam pandemi, program semacam SDSB layak untuk dinanti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun