Seorang wanita berhijab syar'i dengan tergopoh-gopoh sambil menggendong anaknya mengikuti suaminya yang melangkah dengan cepat menuju rak sepatu dan sandal di sebuah Mall. Sang suami yang memakai gamis agak cingkrang dengan ucapan yang cukup keras berkata, "Cepat pilih sandal sana. Jangan pakai lama ya!"
"Iya, Abi," jawab sang istri.
Beberapa pengunjung dan pramuniaga sempat menoleh heran ke arah si suami. Kemudian si istri sibuk memilih-milih sandal sambil menggendong anaknya. Belum sampai 15 menit, suaminya kembali berkata keras, "Umi ini kok lama banget sih?"
Tanpa menghiraukan istrinya yang terpaku dan tatapan orang-orang di sekitarnya, sang suami ngeloyor pergi begitu saja meninggalkan istri dan anaknya. Dari balik cadarnya, sang istri menitikkan air mata.
***
Mungkin banyak di antara kita yang heran, mengapa lelaki yang dari luar terlihat saleh ini memiliki akhlak yang sedemikian buruk pada istrinya.
Setiap wanita muslimah hampir pasti mendambakan lelaki yang bisa menjadi suami yang saleh. Seorang lelaki yang tampan, rajin salat berjamaah, pengetahuan agamanya sangat mumpuni, menjaga pandangan mata dari hal-hal yang dilarang, sopan santun. Pokoknya semua persyaratan seorang lelaki salih ada pada dirinya.
Jangankan dara muslimah, bahkan tak jarang yang sudah punya pasangan pun kerap berkhayal, "Ah, seandainya suamiku bisa seperti lelaki saleh itu..."
Tapi, bukankah seperti itu sifat dari banyak wanita dan juga sebagian besar dari kita? Dalam hal jodoh, tentu saja kita ingin mencari pasangan yang sempurna.
Lelaki Saleh Belum Tentu Dapat Menjadi Suami Saleh
Tak ada yang salah dengan harapan seperti itu, malah sangat baik dan dianjurkan. Tapi harus diingat, lelaki saleh belum tentu cocok untuk menjadi pasangan hidup. Lelaki saleh belum tentu bisa menjadi suami yang baik pula.
Dalam pandangan Islam, lelaki saleh adalah lelaki yang selalu melaksanakan perintah Allah baik lahir maupun batin. Misalnya, ia selalu berjama'ah di masjid, perilaku dan tutur katanya islami, meninggalkan hal-hal yang haram.
Hal ini hanya bisa dilihat orang lain secara lahiriah saja. Dari tampak luar, lelaki bisa dikatakan saleh karena ia terlihat rajin menjalankan perintah agamanya.
Bagaimana dengan sisi batinnya? Orang lain tidak akan tahu kecuali ia sudah kenal begitu dekatnya dengan lelaki saleh tersebut. Bisa jadi, meskipun terlihat rajin salat, lelaki itu memiliki beberapa sifat yang tidak cocok bagi calon pasangannya nanti.
Misalnya, lelaki itu bawaannya serius, sangat pendiam, melankonis, sulit tertawa, memiliki pergaulan sosial terbatas. Sedang pasangannya, memiliki karakter sebaliknya: seorang sosialita, aktifis muslimah yang senang bergaul dengan yang lain, suka humor, dan sebagainya.
Sifat si lelaki itu bukan sifat yang jelek, hanya saja karakter pribadinya tidak cocok dengan pasangannya yang memiliki sifat yang berlawanan. Bahasa gaulnya, tidak ada chemistry diantara keduanya yang kelak bisa membawa kebahagiaan dalam berkeluarga.
Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda yang ditujukan pada orang tua yang hendak menikahkan putrinya,
"Jika datang padamu lelaki yang kau ridhai agama (Islam) dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Jika tak kau lakukan, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang panjang." (HR. Turmudzi dan Ibnu Majah).
Perhatikan teks hadis tersebut. Rasullah mengatakan "lelaki yang kau ridhai agama dan akhlaknya". Â Sabda Rasulullah SAW itu memberi pengertian pada kita bahwa orang tua dalam memilih calon menantu, syaratnya harus ridha terhadap agama dan perangainya!
Karena memang tidak semua lelaki saleh, disetujui cara beragama dan perangainya oleh istrinya. Jadi, ada unsur penilaian manusia di sini. Sedang penilaian manusia itu hanya terbatas pada sesuatu yang lahiriah atau yang tampak.
Kisah Fatimah binti Qays bisa menjadi pelajaran bagi kita akan makna suami yang salih. Suatu saat, ia dilamar dua lelaki. Tak tanggung tanggung, yang melamarnya adalah dua sahabat Nabi yang jadi pejabat, yaitu Mu'awiyah dan Abu al-Jahm. Menanggapi lamaran dua lelaki salih dan memiliki keyakinan agama yang baik ini, Fatimah meminta nasihat kepada Rasulullah SAW.
Apa nasihat Rasulullah kepada Fatimah?
Nabi menjelaskan, baik Mu'awiyah maupun Abu al-Jahm, tidak cocok untuk menjadi suami Fatimah binti Qays. Nabi tidak menjodohkan Fatimah dengan salah satu dari keduanya, karena Nabi mengetahui karakter Fatimah, juga karakter Mu'awiyah dan Abu al-Jahm.
Lebih lanjut, Nabi menawarkan agar Fatimah menikah dengan Usamah bin Zaid, seorang sahabat yang sebelumnya tidak masuk dalam radar hatinya. Fatimah pun menuruti nasihat Nabi.
Setelah menikah dengan Usamah bin Zaid, Fatimah mengatakan, "Allah melimpahkan kebaikan yang banyak pada pernikahan ini dan aku dapat mengambil manfaat yang baik darinya."
Penuhi Aspek 3 M Agar Bisa Menjalin Kecocokan Hubungan Rumah Tangga
Jadi bisa kita lihat, kesalehan seseorang belum tentu dapat membuatnya menjadi suami yang saleh pula bagi istrinya. Kesalehan seorang lelaki memang menjadi syarat utama bagi wanita muslimah yang ingin menikah. Namun, itu saja tak cukup. Hal ini pun berlaku sebaliknya. Wanita yang saleh belum tentu bisa menjadi istri yang saleh pula bagi suaminya.
Untuk menjadi suami atau istri yang saleh ada aspek 3M yang harus dipenuhi:
- Munasabah (kesesuaian gaya hidup, meski tak harus sama)
- Musyakalah (kesesuaian kesenangan / hobi, meski tak harus sama)
- Muwafaqah (kesesuaian tabiat dan kebiasaan)
Meski begitu, aspek 3 M ini relatif. Hanya pasangan masing-masing yang bisa mengetahuinya. Itu sebabnya, sebelum menikah Islam mengajarkan untuk ta'aruf (berkenalan). Dengan mengenal calon pasangannya, calon suami atau istri bisa mengetahui kesalehan agama dan akhlaknya sehingga diharapkan ada ketertarikan dan kecocokan agar rumah tangga yang dibangun kelak bisa langgeng dan bahagia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H