Sepuluh tahun bekerja dan tinggal di Bali, saya menemui kenyataan yang menyakitkan. Banyak penduduk Bali lebih menghormati warga negara asing (WNA) daripada sesama pribumi.
Maaf, saya tak hendak menebar provokasi. Tapi saya yakin, banyak wisatawan lokal, pekerja lokal maupun warga pendatang dari luar yang mencari penghidupan di Bali setuju dengan pendapat saya ini. Dan saya yakin pula, fenomena mental "inlander" ini tak hanya ada di Bali, melainkan di hampir seluruh wilayah Indonesia.
Sewaktu bekerja di Bali, saya punya klien pengusaha lokal yang bergerak di bidang interior. Ketika saya meminta janji bertemu, klien saya ini mengatakan nanti dia akan diwakili manajernya seperti biasa. Saya terkejut ketika mendapati sosok manajer yang bertemu dengan saya bukan manajer yang biasa saya temui sebelumnya. Melainkan seorang warga negara asing.
Karena penasaran, saya kemudian bertanya pada karyawan lain yang sudah saya kenal akrab. Si WNA ini ternyata baru sebulan diangkat menjadi manajer, menggantikan manajer lama yang orang lokal. Saya pun iseng bertanya berapa gaji yang diterima WNA ini. Karyawan tadi dengan bisik-bisik mengatakan hampir dua kali lipat dari gaji manajer sebelumnya.
Padahal pekerjaannya sama. Satu-satunya kelebihan manajer baru ini adalah dia WNA, yang tentu saja bahasa Inggrisnya lebih fasih daripada si manajer lokal.
Saya maklum, dengan pangsa pasar wisatawan mancanegara dan pengusaha atau investor dari luar negeri, pengusaha ini butuh manajer yang menguasai bahasa Inggris dengan baik agar bisa berkomunikasi lancar dengan calon pelanggan.
Sayangnya, sependek pengamatan saya, manajer WNA ini kurang cakap penguasaan manajerial dan pengetahuan seluk beluk interior dengan baik. Alhasil, yang saya tangkap dari pengamatan sekilas, pengusaha ini seperti asal merekrut WNA tanpa melihat kompetensinya. Â Pokoknya bule yang bahasa Inggrisnya lancar.
Pengamatan saya ini diperkuat dengan informasi yang saya peroleh langsung dari WNA tersebut, saat pertemuan berikutnya, bahwa dia sebenarnya datang ke Bali untuk berwisata. Dalam suatu kesempatan, bule ini bertemu dengan pengusaha tersebut dan ditawari bekerja di tempatnya. Melihat kesempatan untuk menambah uang saku dan waktu tinggal lebih lama, tentu saja bule ini tidak menolak kesempatan emas tersebut.
Apa yang saya temukan dan amati ini mungkin bisa kita temukan pula di perusahaan-perusahaan lain di Bali. Pemilik usaha mempekerjakan WNA hanya karena melihat tampang bule-nya. Padahal, ada banyak pekerja lokal yang punya kompetensi lebih, sekaligus menguasai bahasa asing (khususnya bahasa Inggris) dengan baik.
Tak hanya di lingkup pekerjaan, dalam aktivitas pariwisata yang menjadi urat nadi perekonomian masyarakat Bali pun kita masih sering menjumpai pelaku usaha pariwisata yang bermental inlander, Mereka lebih menghormati WNA daripada turis lokal.