Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Di Bali, WNA Lebih Dihormati daripada Pribumi

19 Januari 2021   20:19 Diperbarui: 19 Januari 2021   20:34 793
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mental "inlander" inilah yang kemudian dimanfaatkan WNA seperti Kristen Gray untuk mencari kesempatan dalam kesempitan (unsplash.com/Artem Beliaikin)

Sepuluh tahun bekerja dan tinggal di Bali, saya menemui kenyataan yang menyakitkan. Banyak penduduk Bali lebih menghormati warga negara asing (WNA) daripada sesama pribumi.

Maaf, saya tak hendak menebar provokasi. Tapi saya yakin, banyak wisatawan lokal, pekerja lokal maupun warga pendatang dari luar yang mencari penghidupan di Bali setuju dengan pendapat saya ini. Dan saya yakin pula, fenomena mental "inlander" ini tak hanya ada di Bali, melainkan di hampir seluruh wilayah Indonesia.

Sewaktu bekerja di Bali, saya punya klien pengusaha lokal yang bergerak di bidang interior. Ketika saya meminta janji bertemu, klien saya ini mengatakan nanti dia akan diwakili manajernya seperti biasa. Saya terkejut ketika mendapati sosok manajer yang bertemu dengan saya bukan manajer yang biasa saya temui sebelumnya. Melainkan seorang warga negara asing.

Karena penasaran, saya kemudian bertanya pada karyawan lain yang sudah saya kenal akrab. Si WNA ini ternyata baru sebulan diangkat menjadi manajer, menggantikan manajer lama yang orang lokal. Saya pun iseng bertanya berapa gaji yang diterima WNA ini. Karyawan tadi dengan bisik-bisik mengatakan hampir dua kali lipat dari gaji manajer sebelumnya.

Padahal pekerjaannya sama. Satu-satunya kelebihan manajer baru ini adalah dia WNA, yang tentu saja bahasa Inggrisnya lebih fasih daripada si manajer lokal.

Saya maklum, dengan pangsa pasar wisatawan mancanegara dan pengusaha atau investor dari luar negeri, pengusaha ini butuh manajer yang menguasai bahasa Inggris dengan baik agar bisa berkomunikasi lancar dengan calon pelanggan.

Sayangnya, sependek pengamatan saya, manajer WNA ini kurang cakap penguasaan manajerial dan pengetahuan seluk beluk interior dengan baik. Alhasil, yang saya tangkap dari pengamatan sekilas, pengusaha ini seperti asal merekrut WNA tanpa melihat kompetensinya.  Pokoknya bule yang bahasa Inggrisnya lancar.

Pengamatan saya ini diperkuat dengan informasi yang saya peroleh langsung dari WNA tersebut, saat pertemuan berikutnya, bahwa dia sebenarnya datang ke Bali untuk berwisata. Dalam suatu kesempatan, bule ini bertemu dengan pengusaha tersebut dan ditawari bekerja di tempatnya. Melihat kesempatan untuk menambah uang saku dan waktu tinggal lebih lama, tentu saja bule ini tidak menolak kesempatan emas tersebut.

Apa yang saya temukan dan amati ini mungkin bisa kita temukan pula di perusahaan-perusahaan lain di Bali. Pemilik usaha mempekerjakan WNA hanya karena melihat tampang bule-nya. Padahal, ada banyak pekerja lokal yang punya kompetensi lebih, sekaligus menguasai bahasa asing (khususnya bahasa Inggris) dengan baik.

Tak hanya di lingkup pekerjaan, dalam aktivitas pariwisata yang menjadi urat nadi perekonomian masyarakat Bali pun kita masih sering menjumpai pelaku usaha pariwisata yang bermental inlander, Mereka lebih menghormati WNA daripada turis lokal.

Saya ingat satu kasus yang sempat viral di media sosial beberapa waktu lalu. Seorang wisatawan asal Jakarta melontarkan kekesalannya di media sosial karena merasa menerima perlakuan yang berbeda dengan turis asing.

Saya kira banyak wisatawan lokal juga merasakan hal yang sama saat berlibur ke Bali. Masyarakat di sana lebih "welcome" ke turis asing ketimbang sesama bangsa. Sekalipun isi kantong kita lebih banyak daripada bule-bule itu.

Oh iya, jangan dikira wisatawan asing di Bali itu kaya-kaya. Di sana banyak bule-bule kere dengan bekal seadanya. Dan, ketika bekal mereka habis, apapun akan dilakukan bule-bule itu demi menyambung hidup mereka di pulau Dewata.

Saya pernah melihat seorang turis asing mengamen di perempatan jalan Imam Bonjol, Denpasar. Saya juga pernah mendengar dari beberapa pengusaha lokal yang saya temui, banyak turis-turis yang kehabisan uang saku itu "mengemis" pekerjaan di galeri atau toko-toko seni di seputaran Legian dan Ubud.

Mental "inlander" inilah yang kemudian dimanfaatkan WNA-WNA seperti Kristen Gray untuk mencari kesempatan dalam kesempitan, sekaligus keuntungan pribadi. Penghormatan yang berlebihan terhadap tamu-tamu asing ini akhirnya berubah menjadi senjata makan tuan.

Banyak WNA yang sikapnya ngelunjak. Mereka menganggap remeh aturan, hukum, dan adat istiadat masyarakat setempat. Di luar itu, lengahnya pengawasan dari aparat berwenang membuat mereka yang awalnya datang ke Bali untuk liburan, akhirnya memutuskan untuk tinggal lebih lama dari yang semestinya diijinkan.

Bangsa kita memang dikenal sebagai bangsa yang ramah. Malah, sikap ramah ini menjadi salah satu daya tarik pariwisata, selain keindahan dan kekayaan alamnya. Namun, hendaknya keramahan ini juga bisa kita letakkan secara adil.

Jangan hanya bisa bersikap ramah pada tamu asing, namun bersikap ramahlah terhadap tamu-tamu dari bangsa sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun