Saya ingat satu kasus yang sempat viral di media sosial beberapa waktu lalu. Seorang wisatawan asal Jakarta melontarkan kekesalannya di media sosial karena merasa menerima perlakuan yang berbeda dengan turis asing.
Saya kira banyak wisatawan lokal juga merasakan hal yang sama saat berlibur ke Bali. Masyarakat di sana lebih "welcome" ke turis asing ketimbang sesama bangsa. Sekalipun isi kantong kita lebih banyak daripada bule-bule itu.
Oh iya, jangan dikira wisatawan asing di Bali itu kaya-kaya. Di sana banyak bule-bule kere dengan bekal seadanya. Dan, ketika bekal mereka habis, apapun akan dilakukan bule-bule itu demi menyambung hidup mereka di pulau Dewata.
Saya pernah melihat seorang turis asing mengamen di perempatan jalan Imam Bonjol, Denpasar. Saya juga pernah mendengar dari beberapa pengusaha lokal yang saya temui, banyak turis-turis yang kehabisan uang saku itu "mengemis" pekerjaan di galeri atau toko-toko seni di seputaran Legian dan Ubud.
Mental "inlander" inilah yang kemudian dimanfaatkan WNA-WNA seperti Kristen Gray untuk mencari kesempatan dalam kesempitan, sekaligus keuntungan pribadi. Penghormatan yang berlebihan terhadap tamu-tamu asing ini akhirnya berubah menjadi senjata makan tuan.
Banyak WNA yang sikapnya ngelunjak. Mereka menganggap remeh aturan, hukum, dan adat istiadat masyarakat setempat. Di luar itu, lengahnya pengawasan dari aparat berwenang membuat mereka yang awalnya datang ke Bali untuk liburan, akhirnya memutuskan untuk tinggal lebih lama dari yang semestinya diijinkan.
Bangsa kita memang dikenal sebagai bangsa yang ramah. Malah, sikap ramah ini menjadi salah satu daya tarik pariwisata, selain keindahan dan kekayaan alamnya. Namun, hendaknya keramahan ini juga bisa kita letakkan secara adil.
Jangan hanya bisa bersikap ramah pada tamu asing, namun bersikap ramahlah terhadap tamu-tamu dari bangsa sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H