"Mas, ini maksudnya apa?" tanya istriku sambil menyodorkan ponsel pintarnya. Di layar ponsel, kulihat aplikasi WhatsApp terbuka dengan sebuah pengumuman pop up.
"Oh, itu pembaruan kebijakan privasi. Setiap pengguna WhatsApp sekarang harus mau berbagi data dengan Facebook," jawabku menerangkan singkat.
"Apa harus diklik setuju?" tanya istriku lagi.
"Ya terserah. Mau setuju silahkan, gak mau ya nggak apa-apa. Tapi, kalau gak mengklik setuju, akun WhatsApp-mu nanti bakal dihapus."
***
Ya, seminggu ini pengguna WhatsApp dibuat heboh dengan munculnya kebijakan privasi yang baru. Banyak yang merasa takut data pribadi mereka bakal bocor bila WhatsApp membagikannya ke Facebook.
WhatsApp sekarang akan membagikan semua data yang dikumpulkannya dengan Facebook. Versi kebijakan privasi sebelumnya memungkinkan pengguna untuk memilih tidak setuju, tetapi sekarang tidak lagi.Â
WhatsApp memberi waktu bagi pengguna hingga 8 Februari, sebelum akhirnya ditunda sampai batas waktu belum ditentukan usai banyak penggunanya ramai-ramai migrasi ke aplikasi perpesanan yang lain.
Apa saja kebijakan privasi WhatsApp yang baru?
Hampir semua data pengguna WhatsApp akan dibagikan ke Facebook. Berdasarkan kebijakan privasi baru, WhatsApp akan mengumpulkan data hardware (perangkat keras) soal level baterai, kekuatan sinyal versi aplikasi, informasi browser, jaringan seluler, informasi koneksi (termasuk nomor telepon, operator seluler atau ISP), bahasa dan zona waktu, alamat IP, informasi operasi perangkat, dan pengidentifikasi (termasuk pengidentifikasi unik terhadap Produk Perusahaan Facebook yang dikaitkan dengan perangkat atau akun yang sama).
"Informasi yang kami bagikan dengan Facebook Companies termasuk informasi registrasi akun (seperti nomor ponsel), data transaksi, informasi yang terkait dengan layanan, informasi mengenai cara berinteraksi dengan pengguna lain (termasuk bisnis) ketika menggunakan layanan termasuk informasi lain yang kami kumpulkan berdasarkan persetujuan pengguna," seperti dikutip dari kebijakan privasi baru WhatsApp.
Data-data tersebut akan digunakan Facebook untuk personalisasi iklan. Sama seperti Google yang menayangkan iklan berdasarkan perilaku penggunanya (User Behavior).
Meskipun berbagi data dengan Facebook, WhatsApp menjamin fitur keamanan end-to-end encryption tetap terpasang. Artinya, setiap pesan yang kita kirim hanya bisa dibaca oleh penerima. WhatsApp sendiri tidak bisa membaca isi pesan pengguna.
Beberapa item data pengguna yang berpotensi bermasalah dari munculnya kebijakan privasi WhatsApp yang terbaru ini di antaranya adalah WhatsApp bisa membagikan status, gambar profil, waktu kita online, cap waktu aktivitas olahpesan, detail grup (Nama, deskripsi, dan gambar tampilan), alamat IP, lokasi, dan pengenal yang terkait dengan layanan Facebook lainnya. Data-data seperti itu bakal disimpan di Pusat Data global Facebook termasuk yang ada di Amerika Serikat (AS).
Potensi Masalah dengan Kebijakan Privasi WhatsApp Terbaru
Semua data itu nantinya, selain untuk personalisasi iklan di Facebook, juga berpotensi "jatuh" ke tangan pihak ketiga. Beberapa kemungkinan terburuk yang bisa terjadi jika data pribadi pengguna diketahui pihak ketiga antara lain:
1. Email/panggilan spam dari pihak ketiga yang membeli informasi kontak kita.
2. Penargetan pengguna dengan propaganda politik/berita palsu
Kita tentu masih ingat skandal Cambridge Analytica yang dilakukan Facebook dan Propaganda Rusia yang sempat heboh dimainkan dalam peta politik Indonesia menjelang pilpres 2019 lalu.
3. Sensor ucapan dan perilaku
Ketika pemerintah mulai mendefinisikan perbedaan pendapat sebagai kejahatan dunia maya dan datang mengetuk pintu WhatsApp atau Facebook untuk "bantuan dalam penyelidikan", data pribadi kita bisa dijadikan filter.
Masih segar dalam ingatan algoritma Facebook menyensor setiap postingan yang berkaitan dengan FPI dan Habib Rizieq Shihab. Tak hanya membekukan halaman dan akun FPI, setiap akun yang memposting foto HRS langsung dihapus Facebook dan mendapat surat peringatan. Bahkan postingan yang memuat foto HRS sebelum tahun 2017 juga tak luput dari aksi bersih-bersih Facebook.
Banyak netizen menduga algoritma khusus yang dapat menyaring foto dan nama HRS ini dibuat setelah petinggi Facebook bertemu dengan pemerintah Indonesia.Â
Menkominfo Rudiantara ketika itu bertemu dengan perwakilan Facebook, yakni Global Head of Content Policy Facebook, Monica Bickert, dan Head of Public Policy, Southeast Asia, Alvin Tan, di Jakarta pada 14 Februari 2017 yang dilanjutkan pertemuan pihak Facebook dengan pihak Istana.Â
Isi pertemuan tersebut diantaranya berkaitan dengan pengendalian informasi yang dianggap berbahaya bagi pemerintah tapi berbeda dengan Facebook.
4. Pencurian identitas
Kebocoran data pribadi pengguna juga sering dimanfaatkan untuk pencurian identitas. Pengguna media sosial gemar mencantumkan tanggal lahir, kota asal, tim olahraga favorit, buku/film favorit, memberi nama, menandai keluarga, dll.Â
Jika ada data pribadi yang bocor, akun media sosial kita jadi rawan dicuri orang lain dan disalahgunakan.
Tak Perlu Khawatir Berlebihan dengan Kebijakan Privasi WhatsApp yang Baru
Lantas, apa yang harus dikhawatirkan dari kebijakan privasi WhatsApp terbaru ini?
Jujur, saya pribadi menganggap tak ada yang perlu dikhawatirkan dari kebijakan privasi WhatsApp versi terbaru. Jika banyak pengguna, termasuk beberapa teman saya sendiri, jadi paranoid dan ramai-ramai migrasi ke aplikasi sejenis seperti Telegram, Signal atau BIP, sampai saat ini saya masih tenang-tenang saja.
Sejauh ini, saya menganggap kebijakan WhatsApp yang membagikan data pengguna ke Facebook masih dalam toleransi kewajaran. Personalisasi iklan di Facebook sejatinya sudah cukup lama diterapkan, jadi bukan hal yang baru lagi.
Bagaimana dengan kemungkinan bocornya data pengguna?
Sangat kecil kemungkinan Facebook dan WhatsApp membocorkan data pengguna, apalagi sampai dibobol peretas. Memang, ada beberapa kasus di mana Facebook "menyerahkan" data pengguna untuk kepentingan kampanye politik, seperti pada kasus Cambridge Analytica.
Apakah ini mengkhawatirkan?
Tidak. Bila akun media sosial kita disisipi pesan-pesan propaganda politik, kita tinggal mengabaikannya. Sesederhana itu?
Kekhawatiran yang sebenarnya baru muncul bila akun media sosial kita diretas dan data pribadi kita disalahgunakan orang yang tidak bertanggung jawab.Â
Dan sejauh ini, kemungkinan terburuk dari pencurian identitas ini belum sampai terjadi selama kita bisa menjaga kerahasiaan nama pengguna dan password dari orang lain. Toh tidak mungkin WhatsApp atau Facebook membagikan nama pengguna dan password kita dengan sembarangan.
WhatsApp Adalah Mode Default Aplikasi PerpesananÂ
 Apakah layak meninggalkan WhatsApp dan pindah ke aplikasi perpesanan yang lain?
Terus terang, saya belum menemukan aplikasi perpesanan yang memiliki ekosistem seperti WhatsApp. Sekalipun aplikasi lain mungkin mengklaim lebih menjaga privasi pengguna, saya masih belum kepikiran untuk menghapus WhatsApp dan pindah menggunakan aplikasi lainnya.
Harus diakui, WhatsApp sudah terlanjur menjadi mode default untuk aplikasi perpesanan. Seperti halnya Google yang menjadi mode default kita dalam hal mencari segala jenis informasi di internet.
Lagipula, menghapus WhatsApp dari ponsel kita tidak secara otomatis membuat data kita hilang. Menghapus WhatsApp memerlukan sedikit upaya lebih daripada sekadar mencopot aplikasi.
"Ketika kamu menghapus data, itu tidak akan memengaruhi informasi kamu yang berkaitan dengan grup percakapan yang dibuat atau informasi kamu yang dimiliki oleh pengguna lainnya seperti salinan pesan yang pernah dikirimkan," tulis WhatsApp.
Jadi, pengguna harus mengambil semua data dari WhatsApp untuk kemudian menghapusnya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H