Siapa yang belum pernah mendengar cerita fabel lomba lari antara kelinci dan kura-kura? Atau cerita fabel tentang domba dan serigala?
Siapa pula yang belum pernah mendengar dongeng singa yang ditolong tikus, atau cerita tentang jangkrik yang kelaparan dan semut yang menimbun makanan saat musim gugur tiba?
Hampir semua orang di dunia ini pernah mendengar dongeng-dongeng tentang binatang yang terkenal itu. Bahkan anak-anak PAUD pun pernah mendengar dongeng-dongeng tersebut dari guru-guru mereka.
Saking terkenalnya, dongeng yang semua tokoh utamanya selalu binatang itu abadi. Ceritanya melintasi ruang waktu, dari jaman ke jaman, dari generasi ke generasi. Dan, kalau kita mendengar cerita fabel, satu nama langsung disematkan di belakangnya: Aesop.
Ironisnya, sosok Aesop tidak sepopuler cerita fabelnya. Hampir tidak ada yang tahu seperti apa sosoknya, bagaimana kisah hidupnya. Bahkan, tak sedikit yang percaya Aesop itu benar-benar manusia nyata atau hanya tokoh fiksi, sebagaimana cerita fabel yang menyertai namanya.
Aesop, Dari Budak Jadi Pendongeng Terkenal Sepanjang Masa
Ada banyak dokumen tentang Aesop, bakat mendongengnya yang menakjubkan, anekdot, dan kutipan dari kehidupan dan kematiannya yang legendaris. Beberapa dari dokumen ini sangat tidak dapat diandalkan, sebagian besar karena ditulis berabad-abad setelah dia meninggal. Yang lainnya adalah fiksi murni dengan urutan kejadian dan karakter fiksi yang tidak logis.
Meskipun Aesop disebutkan dalam tulisan-tulisan sejarawan Yunani terkenal (diantaranya Aristoteles, Herodotus dan Plutarch) dan fabelnya diterjemahkan ke hampir semua bahasa di dunia, kita tidak akan pernah tahu pasti apakah pria dengan nama ini pernah hidup.
Aesop, sebagaimana disebut dalam berbagai dokumen sejarah (termasuk yang disebutkan oleh Aristoteles), diyakini lahir pada 620 SM di Trakia, sebuah wilayah di pulau Samos yang masuk dalam kerajaan Yunani. Sementara beberapa sumber lain mengatakan Aesop lahir di Fragia (sekarang ikut wilayah Turki) atau Sardis (juga Turki).
Ketika dewasa, Aesop menjadi budak dari dua tuan: Xanthus dan Iadmon yang kemudian membebaskan Aesop untuk beberapa alasan yang tidak diketahui.Â
Meskipun kelahiran Yunani, banyak deskripsi yang menggambarkan Aesop sebagai orang kulit hitam. Alasannya yang pertama merujuk pada nama Aesop sendiri, yang secara etimologi dihubungkan dengan kata "Aethiop" yang merujuk pada wilayah Ethiopia di Afrika.
Para ahli etimologi kemudian membuktikan bahwa kata Aesop dan Aethiop tidak memiliki kesamaan, tetapi gambaran kulit gelapnya bertahan selama beberapa abad. Orang yang pertama kali mendeskripsikan Aesop sebagai budak kulit hitam adalah Maximus Planudes, biarawan, penerjemah dan sarjana dari Konstantinopel yang hidup di abad ke-13, dua ribu tahun setelah masa kehidupan Aesop.
Maximus Planudes adalah penerjemah terbaik bahasa Yunani dan Latin pada masanya. Dia menulis banyak karya dan "Aesop's Life" hanyalah salah satu di antaranya.Â
Sekalipun kemampuan linguistiknya sangat cemerlang, namun pemahaman sejarahnya justru sangat meragukan. Itu sebabnya deskripsinya tentang Aesop yang digambarkan sebagai orang kulit hitam yang bungkuk dengan suara yang sangat tidak menyenangkan juga diragukan ketepatannya.
Aesop hidup di masa di mana kebebasan berbicara telah diberikan kepada setiap orang yang bebas. Terlahir sebagai budak yang kemudian menjadi orang merdeka, Aesop diyakini menghargai nilai ini.
Masalahnya, saat itu demokrasi belum tercipta. Pada masanya, para penguasa adalah tiran dan kebanyakan dari mereka tidak suka mendengar kritik apa pun di akun mereka. Jika seseorang ingin mengkritik sistem dan kondisi politik yang ada di masyarakat, dia harus melakukannya dengan sangat hati-hati.
Maka, berbicara melalui alegori dan dongeng adalah cara sempurna untuk menyebarkan ide-ide yang bisa berbahaya bagi pengarangnya. Itulah satu-satunya alasan yang tepat untuk menjawab keraguan mengapa selama masa hidupnya Aesop bisa sangat produktif menciptakan 720 dongeng binatang.
Kematian dan Kutukan Aesop pada Kota Delphi
Bakat mendongengnya yang luar biasa akhirnya didengar oleh raja Croesus dari Lydia. Aesop kemudian ditunjuk menjadi penasihat raja yang dikenal sangat kaya ini. Dalam beberapa kesempatan, Aesop sering menemani raja Croesus bepergian ke berbagai daerah.
Ketika sedang menjalankan sebuah tugas dari Croesus di kota Delphi, warga Delphi menuduh Aesop mencuri makanan dari kuil Apollo. Aesop ditangkap dan dijatuhi hukuman mati dengan cara dilempar dari tebing.Â
Sebelum dieksekusi, Aesop menyampaikan kata-kata terakhirnya, "Kamu bisa membunuhku, tapi kematianku akan dibalas dengan kemalangan besar."Â
Kutukan Aesop menemui kenyataan. Setelah dia meninggal, kota Delphi selalu diselimuti banyak masalah. Situasinya baru mereda setelah warga Delphi membangun sebuah kuil yang didedikasikan untuk Aesop, dan para eksekutor yang ikut melempar Aesop ke tebing dihukum mati. Tahun kematiannya disebutkan oleh Aristoteles terjadi pada 564 SM.
Sekalipun cerita fabel Aesop diceritakan ulang oleh berbagai generasi, diterjemahkan ke hampir semua bahasa yang ada di dunia, ditulis dalam ribuan variasi koleksi dengan judul yang sama, semua itu bukan Aesop yang menuliskannya. Aesop itu pendongeng, bukan penulis.
Koleksi dongeng binatang yang berhubungan dengan namanya dan berbentuk paling mirip dengan yang ada sekarang ini yang ditulis pada masa awal Kekristenan. Dan penulis cerita fabel Aesop yang pertama adalah Demetrius dari Phaleron, yang lebih dikenal sebagai Phaedrus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H