Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Benarkah Rasulullah SAW Tidak Pernah Marah?

7 Desember 2020   18:37 Diperbarui: 7 Desember 2020   18:53 5867
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Marahnya Rasulullah semata-mata karena Allah, ketika kehormatan Islam dilanggar (ilustrasi diolah pribadi)

"Rasulullah SAW saja pemaaf dan tidak pernah marah."

"Islam itu agama yang damai, cinta perdamaian."

"Berdakwah itu dengan kelembutan, bukan dengan kekerasan."

Sering kita dengar ucapan-ucapan itu sebagai alasan agar kita tidak marah dan terlalu berlebihan dalam menanggapi penghinaan, terutama jika penghinaan itu ditujukan kepada diri Rasulullah SAW dan agama Islam.

Inilah salah satu bentuk "korupsi" terhadap keteladanan Nabi. Dengan menonjolkan sisi lembut dari kepribadian Rasulullah, sekaligus menutup-nutupi sisi tegas Rasulullah SAW. Yang sering dikedepankan orang adalah kisah bagaimana Rasulullah memaafkan penduduk Tha'if, meskipun malaikat Jibril sendiri ingin menjungkirbalikkan gunung dan menimpakannya pada penduduk yang sudah menghinakan Nabi tersebut.

Lalu dikatakan Islam itu mengajarkan kalau agama dan Rasulullah dihina, kita harus memaafkan dan bersabar saja. Islam tidak mengajarkan kekerasan, dakwah itu harus lemah lembut, tidak boleh keras, dll. Jadi, kalau ada individu atau sekelompok orang menghina Islam, umat Islam disuruh anteng-anteng saja.

Bagi kaum muslim, Nabi Muhammad adalah teladan kehidupan. Baik sosok fisiknya maupun tingkah laku kepribadiannya. Beliau SAW adalah manusia yang paling sempurna fisik dan akhlaknya. Hingga dikatakan setengah ketampanan lelaki di dunia ini ada pada diri Muhammad SAW (seperempatnya milik Nabi Yusuf a.s, dan seperempatnya lagi milik kaum lelaki lainnya).

Karena keseluruhan yang ada pada Nabi Muhammad adalah teladan, maka segala sikap beliau juga menjadi teladan bagi umat Islam. Termasuk ketika beliau marah.

Ya, Rasulullah SAW juga pernah marah.

Salah satu kisah yang menceritakan marahnya Rasulullah SAW terjadi pada peristiwa pengepungan dan pengusiran kaum Bani Qainuqa dari bumi Madinah. Ketika itu, seorang Yahudi Madinah mengganggu seorang muslimah dengan mengikatkan ujung pakaian bagian belakangnya ke bagian yang lainnya. Sehingga ketika sang wanita itu bangkit dari duduknya tersingkaplah aurat bagian belakangnya.

Muslimah itu lalu berteriak meminta tolong. Seorang pemuda muslim mendengar teriakannya lalu menolong wanita muslimah tersebut hingga mengakibatkan orang Yahudi yang mengganggu itu terbunuh. Mengetahui rekan mereka terbunuh, serta merta kaum Yahudi menyerbu lelaki Muslim itu sehingga meninggal juga. Peristiwa ini akhirnya sampai ke telinga Rasulullah SAW.

Dalam bukunya Ghirah dan Tantangan Terhadap Islam, Buya Hamka menuturkan kisah ini secara khusus dan gamblang. Oleh Buya Hamka, peristiwa penghinaan muslimah hingga memantik kemarahan seorang pemuda muslim disebut sebagai Ghirah (cemburu; menjaga syaraf diri).

Bagaimana kemudian akhir ceritanya?

Kalau menuruti "logika kekinian", kita mungkin mengira Rasulullah memaafkan kaum Bani Qainuqa. Seandainya Nabi hidup di masa kini, mungkin kita akan mendengar komentar-komentar seperti ini:

"Nabi kok keras dan pemarah kayak gitu, mestinya Nabi mengayomi dan mudah memaafkan."

"Nabi kok hobinya perang, mestinya Nabi itu mengajarkan kedamaian, toleransi, persatuan dan kesatuan."

Tapi, kita sudah tahu akhir peristiwa tersebut. Setelah mendengar berita terbunuhnya seorang pemuda muslim karena menolong muslimah yang dihina, seketika itu juga Rasulullah SAW memerintahkan kaum muslimin untuk mengepung Bani Qainuqa hingga mereka terusir dari Madinah.

Sekarang, mari kita simak kisah lainnya yang menunjukkan kemarahan Rasulullah.

Untuk  menyebarluaskan ajaran Islam, Rasulullah SAW mengirim utusan ke beberapa pemimpin negara dengan maksud berdakwah kepada mereka. Satu di antaranya adalah utusan yang menemui Kisra (Sultan/Kaisar) Persia.

Utusan itu membawa sepucuk surat dari Rasulullah SAW yang isinya ajakan untuk memeluk agama Islam. Lazimnya, setiap utusan dari negara lain tentu akan diperlakukan dengan hormat. Akan tetapi, Kisra Persia menghina utusan itu dan merobek surat dari Rasulullah SAW.

Apa yang kemudian dilakukan Rasulullah SAW?

Kalau yang dipakai adalah kaidah kelembutan dan kemaafan, tentunya Rasulullah SAW akan memaafkan Kisra Persia. Wong cuma perkara surat yang dirobek saja lho. Tak ada muslim yang dihina, atau Al Quran yang dilecehkan.

Seandainya Nabi hidup di jaman sekarang, mungkin kita akan mendengar komentar seperti ini:

"Nabi kok mendoakan yang jelek, mestinya Nabi mendoakan yang baik.

Namun, yang terjadi sebaliknya. Rasulullah SAW sangat marah dengan berita tersebut dan beliau berdoa:

" Ya Allah, hancurkanlah dan cerai-beraikanlah kekuasaannya."

Allah SWT mengabulkan doa Nabi tersebut. Pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, Islam menguasai semua wilayah yang pernah berada di bawah kekuasaan Kisra Persia.

Mengapa Nabi memaafkan penduduk Thaif, namun di satu sisi marah besar pada Bani Qainuqa karena sudah melecehkan seorang muslimah dan membunuh pemuda muslim, lalu memerintahkan kaum muslim untuk mengusir mereka?

Mengapa Nabi melarang Jibril menjungkirbalikkan gunung dan menimpakannya pada penduduk Thaif, namun di satu sisi berdoa untuk kehancuran Kisra Persia?

Jawabannya ada pada sebuah hadis dari Aisyah r.a:

"Demi Allah, tidaklah Rasulullah SAW membalas sesuatu yang ditujukan kepada dirinya, kecuali ketika kehormatan agama Allah SWT dilanggar, maka Beliau pun marah semata-mata karena Allah" (HR Bukhari).

Ya, marahnya Rasulullah semata-mata karena Allah, ketika kehormatan Islam dilanggar.

Agama Islam ini, bukan hanya berdiri di bawah pondasi amar makruf saja.  Namun ada kewajiban juga untuk melaksanakan nahi mungkar.

Janganlah kita mengambil setengah-setengah yang kita sukai saja, sementara yang tidak kita sukai kita buang begitu saja. Karena agama ini bukanlah makanan prasmanan yang bisa kita pilih sesuka hati.

Islam adalah agama rahmat bagi semesta alam, namun untuk mencapai rahmat bagi semesta alam, amar makruf dan nahi mungkar harus ditegakkan bersama-sama dengan seimbang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun