"Rasulullah SAW saja pemaaf dan tidak pernah marah."
"Islam itu agama yang damai, cinta perdamaian."
"Berdakwah itu dengan kelembutan, bukan dengan kekerasan."
Sering kita dengar ucapan-ucapan itu sebagai alasan agar kita tidak marah dan terlalu berlebihan dalam menanggapi penghinaan, terutama jika penghinaan itu ditujukan kepada diri Rasulullah SAW dan agama Islam.
Inilah salah satu bentuk "korupsi" terhadap keteladanan Nabi. Dengan menonjolkan sisi lembut dari kepribadian Rasulullah, sekaligus menutup-nutupi sisi tegas Rasulullah SAW. Yang sering dikedepankan orang adalah kisah bagaimana Rasulullah memaafkan penduduk Tha'if, meskipun malaikat Jibril sendiri ingin menjungkirbalikkan gunung dan menimpakannya pada penduduk yang sudah menghinakan Nabi tersebut.
Lalu dikatakan Islam itu mengajarkan kalau agama dan Rasulullah dihina, kita harus memaafkan dan bersabar saja. Islam tidak mengajarkan kekerasan, dakwah itu harus lemah lembut, tidak boleh keras, dll. Jadi, kalau ada individu atau sekelompok orang menghina Islam, umat Islam disuruh anteng-anteng saja.
Bagi kaum muslim, Nabi Muhammad adalah teladan kehidupan. Baik sosok fisiknya maupun tingkah laku kepribadiannya. Beliau SAW adalah manusia yang paling sempurna fisik dan akhlaknya. Hingga dikatakan setengah ketampanan lelaki di dunia ini ada pada diri Muhammad SAW (seperempatnya milik Nabi Yusuf a.s, dan seperempatnya lagi milik kaum lelaki lainnya).
Karena keseluruhan yang ada pada Nabi Muhammad adalah teladan, maka segala sikap beliau juga menjadi teladan bagi umat Islam. Termasuk ketika beliau marah.
Ya, Rasulullah SAW juga pernah marah.
Salah satu kisah yang menceritakan marahnya Rasulullah SAW terjadi pada peristiwa pengepungan dan pengusiran kaum Bani Qainuqa dari bumi Madinah. Ketika itu, seorang Yahudi Madinah mengganggu seorang muslimah dengan mengikatkan ujung pakaian bagian belakangnya ke bagian yang lainnya. Sehingga ketika sang wanita itu bangkit dari duduknya tersingkaplah aurat bagian belakangnya.