Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mengupas Buku "How Democracies Die" yang Dibaca Anies Baswedan

23 November 2020   07:39 Diperbarui: 23 November 2020   12:57 1449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selama Perang Dingin, Steven dan Daniel mencatat aksi kudeta militer terjadi hampir tiga dari setiap empat kasus hancurnya demokrasi. Demokrasi di Argentina, Brasil, Republik Dominika, Ghana, Yunani, Guatemala, Nigeria, Pakistan, Peru, Thailand, Turki, dan Uruguay semuanya mati dengan cara ini. 

Yang terbaru, kudeta militer menggulingkan pemerintahan Presiden Mohamed Morsi pada 2013 dan Perdana Menteri Thailand Yingluck Shinawatra pada tahun 2014. Dalam semua kasus ini, demokrasi dibubarkan secara spektakuler, melalui kekuatan dan paksaan militer.

Di luar kudeta militer, sebenarnya ada cara baru dalam mematikan demokrasi. Pembunuhnya bukan para tiran, diktator, apalagi khilafah. Tidak sedramatis kudeta militer, tapi memiliki efek destruktif yang sama. Demokrasi mungkin mati bukan di tangan para jenderal, tetapi di tangan para pemimpin yang terpilih.

Steven dan Daniel mengatakan tidak semua pemimpin terpilih di beberapa negara yang menganut sistem demokrasi memiliki track record represif dan otoriter. Memang ada yang sejak awal tampak otoriter seperti Hitler. Tapi banyak juga yang awalnya berwajah polos dan lugu, lalu menampakkan wajah otoriternya setelah memerintah. Pemimpin seperti ini secara perlahan dapat mematikn demokrasi dengan langkah yang nyaris tak terlihat.

Penulis buku kemudian mengambil contoh Hugo Chavez. Sebelum menjadi presiden, Chavez adalah orang luar politik yang sering mengkritik dan mencela apa yang dia anggap sebagai elit pemerintahan yang korup.

Ketika Venezuela menyelenggarakan pemilu, Chavez ikut ambil bagian dan berjanji untuk membangun demokrasi yang lebih "otentik" yang menggunakan kekayaan minyak negara yang melimpah untuk meningkatkan kehidupan rakyat miskin. Dengan terampil memanfaatkan kemarahan rakyat yang merasa diabaikan oleh pemerintah dan partai politik, Chavez pun terpilih menjadi Presiden Venezuela pada 1998.

Pada tahun 2003, Chavez mengambil langkah otoritarianisme yang pertama. Dengan memudarnya dukungan publik, dia menghentikan referendum yang dipimpin oposisi yang hendak memakzulkan dirinya. Menginjak 2006, rejim Chavez semakin represif. Pemerintahannya menutup stasiun televisi besar, menangkap atau mengasingkan tokoh-tokoh oposisi, hakim, dan tokoh media atas tuduhan meragukan, dan menghapus batas masa jabatan presiden sehingga Chavez dapat tetap berkuasa tanpa batas waktu.

Beginilah cara demokrasi itu mati. Di akhir Perang Dingin, sebagian besar kerusakan demokrasi bukan disebabkan oleh jenderal dan tentara tetapi oleh pemerintah terpilih sendiri. Seperti Chavez di Venezuela, para pemimpin terpilih telah menumbangkan lembaga demokrasi di Georgia, Hongaria, Nikaragua, Peru, Filipina, Polandia, Rusia, Sri Lanka, Turki, dan Ukraina. Kemunduran demokrasi hari ini dimulai dari kotak suara.

Empat Indikasi Utama Perilaku Otoriter di Negara Demokratis

Berkaca dari kasus-kasus tersebut, Steven dan Daniel kemudian mengambil kesimpulan ada empat indikator demokrasi di suatu negara terkikis dan perlahan menjadi otoriter. Mereka menyebutnya: Four Key Indicators of Authoritarian Behavior.

Untuk mengetes indikator otoritatianisme itu digunakan "tes lakmus" (p. 23-24) berupa beberapa pertanyaan. Keempat indikator itu adalah:

Pertama: Reject of (or weak commitment to) democratic rule of the game (Penolakan (atau lemah komitmen) terhadap sendi-sendi demokrasi)

Parameternya:

  • Apakah mereka menolak Konstitusi atau menyatakan kesediaan untuk melanggarnya?
  • Apakah mereka menyarankan perlunya tindakan antidemokrasi, seperti membatalkan pemilihan, melanggar atau menangguhkan Konstitusi, melarang organisasi tertentu, atau membatasi hak-hak sipil atau politik dasar?
  • Apakah mereka berusaha untuk menggunakan (atau mendukung penggunaan) cara-cara ekstrakonstitusional untuk mengubah pemerintah, seperti kudeta militer, kekerasan
  • pemberontakan, atau protes massa yang bertujuan untuk memaksa perubahan di pemerintah?
  • Apakah mereka berusaha untuk merusak legitimasi pemilu, misalnya dengan menolak menerima hasil pemilu yang kredibel?

Kedua: Denial of The Legitimacy of Political Opponents (Penolakan legitimasi politik pihak oposisi)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun